Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Manakah yang Lebih Nyaman, Bekerja di Kantor atau di Rumah?

18 Januari 2023   11:38 Diperbarui: 18 Januari 2023   16:52 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dari rumah atau work from home (WFH). (PEXELS/ANTONI SHKRABA)

Setelah dua tahun sistem ekonomi dan dunia usaha diterjang oleh badai corona, saat itu juga semua sistem pekerjaan baik swasta maupun pemerintahan berhenti total. 

Stop berkegiatan, semua tidak diperkenankan masuk kerja untuk menjaga penularan covid yang semakin merebak sehingga nyaris roda perekonomian dan pemerintahan lumpuh total.

Saat itulah pemerintah mengeluarkan kebijakan sekaligus menginstruksikan untuk bekerja dari rumah, Work From Home (WFH). 

Demikian juga dunia pendidikan, untuk pertama kalinya guru dan dosen bekerja dan mengajar dari rumah masing-masing.

Tentu ini sebuah pengalaman pertama yang tidak terlupakan. Bagaimana mungkin seorang guru menyampaikan materi terhadap murid dengan tidak bertatap muka, hanya lewat virtual, itulah kenyataan selama dua tahun.

Apakah efektif?

Tentu jawabannya kurang efektif, namun itulah satu-satunya jalan agar pendidikan tetap berjalan. Sekolah-sekolah boleh  tutup, tetapi guru dan murid tetap melakukan pembelajaran di rumah masing-masing.

Kembali pada tema tulisan kali ini, lebih nyaman mana bekerja di kantor atau di rumah? 

pertama, saya akan bahas yang berkaitan dengan dunia pendidikan karena ini pekerjaan saya.

Bagi guru bekerja di kantor, atau mengajar di sekolah lebih nyaman dan efektif. Mengapa? Guru dan murid adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Belajar dan mengajar adalah kegiatan berinteraksi yang sebaiknya dilakukan jika saling bertatap muka antara guru dan murid.

Terlebih misalnya guru SD. Bagi siswa usia SD yang tinggal di kampung-kampung atau pelosok desa, belajar secara online mempunyai banyak kendala.

ilustrasi saat pembelajaran tatap muka di kelas |Gambar: guruinovatif.id 
ilustrasi saat pembelajaran tatap muka di kelas |Gambar: guruinovatif.id 

Pertama, masalah signal

Kondisi desa tidak sama dengan di kota. Jika di kota mudah mendapatkan dan menemukan jaringan internet. Berbanding terbalik dengan di kampung, hanya tempat-tempat tertentu saja yang bisa menangkap signal internet.

Saya sendiri selama pandemi berada di sekolah yang dekat dengan hutan untuk memaksimalkan pembelajaran jarak jauh rasanya tidak mungkin. Bahkan saya pernah berkunjung ke rumah-rumah siswa, dari 19 siswa hanya 9 siswa yang rumahnya bisa menjangkau internet. Maklum letak geografis sangat mempengaruhi signal

Kedua, tidak semua murid mempunyai ponsel

Jika saya datang ke rumah wali murid, saya menanyakan tentang kepemilikan HP, sebagian dari mereka tidak punya ponsel. 

Bagaimana mempunyai ponsel, jika orang tuanya saja kesulitan dalam ekonomi. Apalagi masa covid seperti kemarin, sebagian besar orang tuanya bekerja sebagai buruh tani dan pedagang sayur keliling juga kena imbas dari covid. Pasar-pasar banyak yang tutup sehingga tukang sayurpun terpaksa harus libur.

Jika hanya sebagian murid yang mempunyai ponsel, bagaimana mereka belajar secara online, lah wong perangkatnya saja mereka tidak punya. Bagaimanapun juga belajar tatap muka adalah satu-satunya pembelajaran yang ideal bagi kami para pendidik yang berada di kampung-kampung.

Ketiga, pembelajaran kurang efektif dan komunikatif

Pembelajaran daring atau dalam jaringan kurang efektif, karena tidak dapat berinteraksi langsung dengan anak. Apalagi pada mata pelajaran yang membutuhkan penjelasan seperti matematika.Misalnya materi perkalian bersusun. Biasanya kita akan menjelaskan langkah-langkahnya di papan tulis, sehingga siswa dengan mudah memahaminya.

Jika pembelajaran lewat daring maka kita kesulitan untuk menyampaikan penjelasannya, bahkan kita tidak tahu, seberapa tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang kita sampaikan. Dengan demikian bagi sekolah dan guru-guru WFO adalah hal yang sangat dinantikan.

Lalu bagaimana yang bekerja di perkantoran? Apakah mereka juga mengalami hal yang sama seperti di sekolah-sekolah?

Kebetulan anak sulung saya juga bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Baginya WFH justru menambah ruwet dan terkendala pada pelaporan.

Anakku bekerja pada bagian survelier. Setiap bulannya harus memberikan laporan pada atasan dengan deadline waktu yang telah ditentukan. 

Dia mendapatkan laporan dari bawahannya terlebih dahulu, sehingga bisa memasukkan data. Namun terkadang banyak kendala di lapangan, pengiriman pelaporan tidak sesuai dengan format yang ditentukan karena mereka membuat laporan sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Memberikan penjelasan lewat zoom juga kurang efektif, karena sebagian ada juga yang belum memahaminya.

Dengan bekerja kembali di kantor (WFO) rasanya menjadi lebih tenang, bisa berinteraksi langsung dengan bawahan, apalagi jika terlebih dulu mengadakan pertemuan atau rapat untuk memberikan penjelasan.

"Mbak lebih enakan mana WFH atau WFO?" pertanyaanku padanya.

"Ya WFO lah," jawabnya tegas.

"Tapi ya gitu, harus menyiapkan jatah bensin, juga makan siang," imbuhnya kemudian.

Baik WFH dan WFO adalah perspektif. Kondisi masing-masing tidak sama. Bisa jadi WFH lebih nyaman bagi sebagian orang, namun boleh jadi WHO lebih efektif. Semua tergantung pribadi masing-masing bagaimana menyikapinya.

Bapak dan ibu, bekerja di rumah ataupun di kantor semua menjadi tanggung jawab kita. Karena situasi dan kondisilah ada WFH atau WHO. 

Selama kita bekerja dengan hati ihlas maka semua akan terasa ringan. Sepatutnya kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena covid telah berlalu dan kita kembali bekerja dengan nyaman. 

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun