Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Bekerja vs Ibu Tidak Bekerja, Perdebatan yang Tak Pernah Usai (2)

22 Oktober 2015   20:35 Diperbarui: 22 Oktober 2015   22:34 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari kita lanjutkan obrolan tentang ibu bekerja...

AKU, sebagai ibu bekerja, tentu bukan termasuk ibu- ibu yang bisa sepanjang hari ada di rumah. Tapi sungguh, kuupayakan apa yang bisa kuupayakan bagi anak- anak.

Saat mereka bayi, kuusahakan dengan beragam cara bagaimana agar anak- anakku tetap bisa mendapat ASI. Beberapa minggu sebelum aku mulai kembali masuk kantor saat cuti hamil, aku mulai menampung ASI dalam botol, yang lalu kubekukan di freezer. Diberi nomor dan tanggal. Saat aku tak berada di rumah, ASI itulah yang diberikan pada anakku.

Pada anak yang sulung, ceritanya bahkan lebih ‘epic’ lagi. Anak sulung ini sempat berpisah tempat tinggal dengan kami orang tuanya sebab dia ternyata bereaksi sangat sensitif terhadap imunisasi pertamanya. Dan dokter tak bisa memastikan apakah itu hanya akan terjadi pada imunisasi pertama atau seluruh imunisasinya. Maka setelah ditimbang- timbang, diputuskan bahwa dia tetap tinggal di kota dimana orang tuaku berada di bawah pengawasan dokter tersebut.

Maka demi bisa memberikan ASI langsung padanya, dua kali dalam seminggu aku pulang ke rumah orang tuaku. Pada Jumat sore, sepulang kantor aku langsung menuju stasiun kereta, menempuh jarak sekitar 200 KM untuk menemui dan memberikan ASI pada bayiku. Senin subuh, aku menjalani rute sebaliknya, dari rumah orang tuaku, langsung berangkat ke kantor.

Hal yang sama kulakukan juga di tengah minggu, setiap hari Rabu sore. Sepulang kantor, aku menuju stasiun agar malam itu bisa menyusui bayiku di rumah orang tuaku di luar kota, Kamis subuhnya kembali langsung ke kantor.

Sementara itu, pada hari- hari lain, kutampung ASI-ku. Kubekukan ASI itu lalu asisten rumah tangga kami dua hari sekali naik bus untuk mengirimkan berbotol- botol ASI beku dalam termos es dari kota dimana kami tinggal, ke rumah orang tuaku, yang, sekali lagi, jaraknya hampir 200 KM itu dari kota tempat kami tinggal itu.

Percayalah, memberikan ASI secara langsung pada bayi itu hal yang sangat menyenangkan. Tapi tidak begitu dengan menampung ASI. Ada rasa nyeri baik secara fisik maupun terasa di hati. Tapi kulawan semua itu, sebab menurut pendapatku, itu adalah konsekwensi yang harus ditanggung dari pilihan yang kulakukan saat memutuskan untuk terus bekerja.

Lalu anak- anak tumbuh besar dan masuk sekolah. Aku, tentu bukan termasuk ibu- ibu yang setiap hari bisa ada di sekolah dari pagi sampai sore menunggui anak- anaknya. Maka, kupakai cara lain. Kuajarkan pada anak- anakku bagaimana cara mengatur tasnya, mengajarkan pula disiplin untuk mengerjakan PR dan tugas- tugas mereka sendiri, dengan cara dan waktu yang mereka inginkan.

Aku tak mengatur jam berapa mereka harus belajar. Mereka boleh memilih kapan mereka akan mengerjakan PR atau belajar, tapi kuminta mereka melakukannya dalam jumlah waktu tertentu. Apakah jumlah waktu itu akan dipenuhi semua sekaligus atau dipecah- pecah menjadi beberapa bagian, itu boleh mereka tentukan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun