Mohon tunggu...
Rumah Belajar Persada
Rumah Belajar Persada Mohon Tunggu... -

Pokoknya dimana saja,kapan saja, dan bersama siapa saja; belajar itu sebaiknya jalan terus.... We Can Do It !\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Perjalanan Sepiring Nasi di Kampung Naga

21 Oktober 2015   08:47 Diperbarui: 21 Oktober 2015   08:55 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menyelusuri kampung sampai ke dalam dapur (dok RBP)"][/caption]

Siang  (30/9) itu Pak Endut memandu rombongan homeschooler SMA Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening menyusuri perkampungan warga Kampung Naga bahkan sampai masuk ke dalam dapurnya. Para ibu di sana memasak menu harian untuk keluarga dengan menggunakan tungku kayu bakar dan perabotan rumah tangga tradisional yang umumnya terbuat dari kayu maupun anyaman bambu. Ada beberapa di antara mereka yang memanfaatkan kompor minyak tanah sebagai alat masak cadangan, namun kayu kering tetap merupakan bahan bakar utama di dapur. Meski sederhana, namun percayalah soal kelezatan hidangan yang mereka sajikan sama sekali tidak kalah dari racikan resto berbintang,. Bahkan mungkin untuk urusan sehat makanan ala Kampung Naga jauh lebih unggul. Kenapa?

Masyarakat Kampung Naga yang berprofesi utama sebagai petani, menanam sendiri berbagai komoditas pangan nabati dan memelihara berbagai ternak sumber pangan hewani untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Lantas hasil budidaya itu diolah secara tradisional sebagaimana yang diajarkan oleh para leluhur mereka saat akan dikonsumsi. Memang ada sedikit modifikasi sesuai perkembangan jaman, namun nyaris tak terlihat.

Setelah melewati masa tanam sampai panen berbulan-bulan lamanya, padi yang telah dijemur kemudian akan diberi perlakuan khusus agar bisa menjadi beras siap tanak. Bila di kota-kota besar mesin penggilingan padi akan difungsikan untuk urusan ini, maka di Kampung Naga pengolahan padi menjadi beras dilakukan manual secara berkelompok oleh para ibu. Mereka menggunakan alu (tongkat kayu pejal untuk menumbuk, -pen.) dan lisung (lumpang kayu persegi panjang untuk meletakkan rumpun padi kering yang akan ditumbuk, -pen.) untuk memisahkan beras dari kulit kerasnya lalu menggunakan tampian bambu untuk menyortir beras yang sudah bersih.

Menumbuk padi adalah sebuah kerja keras yang butuh ekstra tenaga plus ketekunan dan biasanya untuk meredakan keletihan mereka sesekali mengayunkan alu  menyentuh dinding lisung secara berirama sambil bersenandung. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakalnya lahirnya kesenian Gondang .

”Kalau ada perayaan di kabupaten, Gondang Kampung Naga sering diminta untuk tampil.” Tutur Endut dengan ekspresi menyiratkan kebanggaan ditimpa tawa ringan dua orang ibu yang tengah menumbuk padi di sebuah tempat khusus yang dibangun di atas kolam  ikan yang luas.

[caption caption="Menumbuk padi dengan gembira (dok RBP)"]

[/caption]

Para jagoan dari HSKS Jatibening pun ditantang untuk mencicipi rasanya menumbuk padi dan komentar homeschooler yang berani menjawab tantangan itu seragam,”Busyet, berat banget!”

Sesuatu yang di luar dugaan pastinya karena mereka menyaksikan kedua ibu yang notabene jauh lebih tua dengan postur mungil itu terlihat santai saja mengayunkan alu  di tangan mereka turun-naik bahkan sambil bercakap santai. Alah bisa karena biasa, Guys ...

Saat akan disantap, beras dicuci lalu direbus dalam kastrol alumunium sampai setengah matang dan selanjutnya dikukus menggunakan seeng (semacam panci pengukus jangkung dengan permukaan merekah tanpa tutup terbuat dari kuningan/alumunium, -pen) dan  aseupan (anyaman bambu berbentuk kerucut untuk menyimpan bahan makanan yang akan dikukus, -pen. ). Prosesi belum selesai sampai di situ karena begitu matang nasi akan diakeul (diaduk agar teksturnya pulen merata, -pen.) menggunakan centong (sendok pengaduk, -pen.) dan dulang (wadah dari kayu gelondongan , -pen.) lalu dimasukkan dalam boboko (wadah nasi dari anyaman bambu, -pen.).

Boboko berisi nasi inilah yang kemudian disajikan di atas tikar menemani goreng ikan yang diambil dari balong (kolam pemeliharaan ikan, -pen.), tempe-tahu, sambal-lalap dari kebun sendiri, telur mata sapi juga dari ayam ternak setempat, dan sayur tumisan atau kuah yang saat disantap betul-betul menghadirkan kenikmatan tersendiri hingga sulit berhenti sampai butir nasi terakhir. Apalagi saat kita mengingat bahwa segala proses budidaya bahan pangan di Kampung Naga ini bisa dibilang sembilanpuluh persen organik hingga selain nikmat, menu bersahaja itu juga bersahabat dengan tubuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun