Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Kejutan dari Putusan MK tentang Gugatan Pilpres 2019

26 Juni 2019   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2019   11:42 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar liputan6.com

Besok tanggal 27 Juni 2019  Majelis Hakim MK  akan mengeluarkan Putusan tentang Gugatan Perselisihan Hasil Pemungutan Umum (PHPU) Pilpres 2019. Hampir dipastikan hanya ada 3 Opsi Putusan MK  yaitu : Menolak semua Gugatan Tim Hukum 02 atau Mengabulkan seluruh Permohonan 02 atau mengabulkan sebagian permohonan 02.

Bila MK menolak semua gugatan itu artinya  Penetapan Hasil Pilpres oleh KPU tanggal 22 Mei 2019 dianggap sah dan inkrah.  Jokowi menjadi Presiden Terpilih 2019-2024.  Tapi bila MK mengabulkan  seluruh Gugatan termasuk mendiskualifikasi Paslon 01 maka  Prabowo menjadi Presiden Terpilih 2019-2024.  Akan tetapi bila MK mengabulkan sebagian permohonan 02 maka Paslon 01 tidak didiskualifikasi  melainkan KPU diperintahkan untuk melakukan Pemilu Ulang  atau minimal PSU (Pemungutan Suara Ulang) di sejumlah wilayah yang terindikasi terjadi kecurangan pemilu.

Kita semua berharap apapun Putusan MK besok adalah yang terbaik untuk bangsa ini. Aamiin.

Pada judul artikel disebut  adanya Kejutan.  Mengapa karena dipastikan MK saat ini bukanlah MAHKAMAH KALKULATOR  sehingga  Putusan Gugatan Pilpres 2019 akan berbeda dari Gugatan Pilpres sebelumnya yang hanya terpaku pada segi Kuantitatif (Angka-angka Perolehan Suara dari Paslon). Putusan MK kali ini dperkirakan berdasarkan segi Kualitatif yaitu terkait  terbukti atau tidaknya terjadinya Pelanggaran Pemilu/Kecurangan  dalam Pilpres 2019. Apakah Kecurangan itu bersifat Terstruktur, Sistimatis dan Masif  mari kita tunggu saja apa  Putusan dari  9 Hakim yang ada.

GUGATAN TIM HUKUM 02 MEMANG SANGAT KUAT ARGUMEN HUKUMNYA

Ada 4 Materi Gugatan Tim Hukum 02 yang saya nilai sangat kuat dasar argumennya. Tapi sekuat-kuatnya dasar argument hukumnya, pertanyaan besarnya kemudian :  Apakah  bukti-bukti yang dihadirkan sudah cukup untuk membuktikan argument tersebut?   Adalah  Majelis Hakim  yang punya wewenang menyimpulkan  cukup tidaknya bukti-bukti yang ada.  Finalnya akan tergambar dari Hasil Putusan Majelis Hakim MK.

4 Materi Gugatan yang saya sebut sangat kuat argumennya adalah :

1.Materi Gugatan terkait Posisi Cawapres 01.

Disebut telah terjadi pelanggaran UU Pemilu Pasal 227 huruf P yang dilakukan Cawapres Paslon 01 karena tidak mengundurkan diri dari jabatannya selaku Pejabat BUMN pada saat proses pendaftaran Capres-Cawapres di KPU.

Sejak awal (sebelum sidang Perdana MK digelar), TKN Jokowi berkali-kali menghimbau kepada MK untuk tidak menerima Gugatan Perbaikan 02 yang memuat soal polemic Cawapres 01 tersebut. Sangat jelas tersirat ketakutan TKN dengan segala resikonya bila MK menerima Gugatan Perbaikan tim hukum 02.

Kemudian bila melihat jalannya Sidang MK, kubu 02 sempat menghadirkan Saksi Fakta Said Didu yang punya pengalaman bertahun-tahun sebagai Sekretaris Kementerian BUMN sehingga dipastikan mampu memberikan fakta hukum bahwa anak perusahaan BUMN adalah BUMN juga.

Pada saat Said Didu memberikan kesaksiannya, tak ada sedikitpun pertanyaan yang diajukan baik Pihak Termohon (KPU) maupun Pihak Terkait (kubu 01). Mengapa hal itu terjadi karena Kesaksian Fakta dari Said Didu memang sangat meyakinkan.

KPU sebagai Pihak Termohon kemudian hanya bisa menjawabnya dengan Pendapat Hukum secara Tertulis dari ahli hukum KPU yang kemudian diserahkan ke Majelis Hakim. Proses ini tidak bisa kita saksikan isi pendapat hukumnya.

Di sisi lain bila beradu pasal-pasal Hukum yang ada maka yang terjadi adalah kubu 01 berdasarkan  UU BUMN Pasal 1 Ayat 1   (UU No.19 tahun 2003) dan UU Syariah Nasional sementara kubu 02 pasti berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2016, Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2005, Peraturan Menteri BUMN no. 3 tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Agung no. 21 tahun 2017. Dari derajat UU nya jelas lebih tinggi UU yang dipakai kubu 02.

Jadi dalam Materi Gugatan 02 tentang Cawapres 01 yang melanggar UU Pemilu pasal 227 huruf P memang  sangat meyakinkan dan terbukti. Konsekwensi hukum maksimalnya  adalah Paslon 01 dapat didiskualifikasi oleh MK. Tapi pertanyaannya, bersediakah MK melakukan hal tersebut atau malah memutuskan masalah ini seharusnya diputuskan oleh Bawaslu.

2.Materi Gugatan terkait SITUNG.

Tim Hukum 02 menggugat KPU atas dugaan Kecurangan Perhitungan Suara  secara Terstruktur, Sistimatis dan massif pada Situng KPU.  Kubu 02 pun menghadirkan 2 saksi fakta dan 2 saksi Ahli yang memang sangat meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan-kesalahan berulang pada Situng KPU yang menyebabkan Paslon 01 bertambah suaranya sementara paslon 02 dikurangi suaranya terus menerus. 

Saksi Ahli Jaswar Koto sangat meyakinkan dalam menyajikan sampling Audit Forensik terhadap situng KPU dimana beberapa TPS terbukti ada data sejumlah Pemilih Siluman maupun terjadinya banyak modifikasi Hasil Scan form C1. Hal ini memperkuat dugaan Kecurangan TSM di Situng KPU.

Sebaliknya KPU sebagai pihak Termohon dalam persidangan MK  terlihat tidak mampu sama sekali mengcounter Saksi Ahli maupun Saksi Fakta kubu 02 terkait Situng.  KPU hanya bisa  berdalil bahwa Bukan Situng yang menentukan Hasil Penetapan Perolehan Suara melainkan Rekapitulasi Manual Berjenjang.

Dalil KPU tentang Hasil Penetapan Pemilu ditentukan lewat Rekapitulasi Manual Berjenjang itu memang benar dan itulah fakta sesuai UU (PKPU). Akan tetapi  sikap KPU yang mengenyampingkan apa-apa yang terjadi pada Situng KPU sungguh membuka borok KPU sendiri.

Situng sebenarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari Proses Perhitungan Suara Pemilu.  Situng juga sudah digunakan pada Pilpres-pilpres sebelumnya.  Dan dalam persidangan MK, Saksi Ahli KPU Marsudi Wahyu  juga mengatakan hal yang sama bahwa Pilpres-Pilpres sebelumnya sudah menggunakan Situng. Sayangnya Saksi Ahli KPU kurang ahli (tidak tepat) karena mengatakan  Pilpres 2014 menggunakan Situng. Fakta yang benar adalah Pilpres 2014 menggunakan Tabulasi Nasional.

Tentang Situng sebagai bagian penting Proses Perhitungan Suara sebenarnya jauh-jauh  hari sudah ditekankan oleh Ketua KPU sendiri Arief Budiman.  Tapi mungkin beliau lupa.  Tepatnya pada tanggal 18 Januari 2019 KPU melakukan sosialisasi tentang Situng. .  Dikutip dari laman AntaraNews, Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan aplikasi Situng merupakan wujud transparansi yang terus dibangun KPU dalam menjaga kepercayaan publik.

"Aplikasi Situng nantinya akan digunakan sebagai sarana informasi dalam pelaksanaan penghitungan suara dan rekapitulasi serta penetapan hasil Pemilu," ujar Arief dalam acara sosialisasi di Jakarta, Jumat 18 Januari 2019.

Arief  mengatakan Aplikasi Situng merupakan cara KPU untuk menunjukan kerja-kerja kepemiluan yang transparan, profesional, berintegritas dan berkualiitas. "Jadi pemilu ini akan dipercaya publik, bagian pentingnya kan itu, publik harus dibangun kepercayaannya sejak penyelenggara direkrut, prosesnya dijalankan, sampai hasilnya ditetapkan," ungkap Arief.

Arief  menekankan melalui Situng nantinya masyarakat dapat mengetahui hasil penghitungan suara secara detail mulai dari tingkat paling bawah yakni Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai tingkat nasional. "Dengan proses yang transparan maka kepercayaan publik akan tumbuh, biasanya jika kepercayaan tumbuh maka hasilnya bisa diterima siapapun, kalau hasilnya bisa diterima maka tidak ada konflik," tandas Arie Budiman.

Clear bukan bahwa dari detail pernyataan  Ketua KPU sewaktu diadakan sosialisasi Situng  telah menyatakan sekaligus menekankan betapa pentingnya keberadaan Situng KPU pada Pemilu 2019.  Fakta yang terjadi akhirnya menjadi buruk ketika saat ini KPU malah berdalih Situng tidak mempengaruhi proses  dari Hasil Penetapan Suara.

Marsudi Wahyu, saksi Ahli KPU dalam sidang MK sempat menyebut Server Situng KPU ada 3 buah. 1 berada di kantor KPU RI sementara 2 lainnya dirahasiakan tempatnya  agar bila terjadi baik  bencana alam ataupun kerusuhan maka data didalamnya tetap aman. 

Menimbang  jumlah server saja sudah terlihat betapa pentingnya keberadaan Situng. Belum lagi  ratusan milyar rupiah biaya pengadaannya berikut  biaya pengoperasiannya termasuk puluhan  gaji petugas entry, mengapa seolah-olah saat ini KPU terkesan mengabaikan hasil output dari Situng?

Setahu saya, sejak pilpres-pilpres sebelumnya baik Tabulasi Nasional ataupun Situng  memang  direncanakan sebagai Alat Kontrol pelaksanaan perhitugan suara  hasil Pemilu. Alat control bagi KPU sendiri maupun alat control bagi public.

Situng yang dioperasikan dengan baik dan benar, seperti yang dikatakan Ketua KPU saat sosialisasi di bulan Januari 2019  akan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas untuk mengetahui total perolehan suara Pemilu mulai dari tingkat TPS hingga tingkat nasional. Dengan demikian Proses Perhitungan suara KPU menjadi sangat Transparan dan Profesional. KPU pun layak dipercaya bila Situng berjalan normal.

Di sisi lain KPU  juga menggunakan Situng  sebagai data pembanding proses Rekapitulasi manual berjenjang.  Dari kepentingan-kepentingan itulah yang  menjadi penyebab  mengapa  Situng harus memiliki  3 unit Server termasuk 2 cadangan yang  disembunyikan keberadaannya agar ada backup bila terjadi hal-hal yang buruk.

Secara logika bila seluruh  hasil Scan form C1 yang masuk pada situng memang Valid dan Benar (tidak ada rekayasa), maka Total Perhitungan Situng jauh Lebih Cepat dan Tepat  dibanding Rekapitulasi Manual berjenjang.  Mengapa demikian, karena dasar perhitungan baik Situng maupun Perhitungan Manual Berjenjang memang sama-sama berbasis  Form C1.

Perbedaan antara  Rekapitulasi Manual dan Situng adalah : Rekapitulasi Manual Berjenjang  mencantumkan tanda-tangan para saksi baik di TPS maupun di tingkat Kecamatan sementara angka-angka yang ada si Situng  pada lembaran-lembarannya tidak ada TANDA-TANGAN ASLI dari para saksi.

Dengan demikian Rekapitulasi Manual Berjenjang  memang lebih Sah secara hukum dibanding Situng.  Situng meskipun lebih cepat dan tepat tapi belum Sah secara hukum  karena tidak mencantumkan tanda-tangan asli dari saksi di TPS, saksi di tingkat Kecamatan hingga saksi di tingkat Nasional.

Kemudian  setelah berkali-kali kubu 02 menyatakan ribuan data entry Situng bermasalah , KPU bukannya memperbaikinya tetapi malah menghindar dan berdalih Bukan Situng yang menentukan Penetapan Hasil Perhitungan Suara.

Menghindarinya KPU dari persoalan situng membuat saya menduga, pada saat itu memang Situng sudah tidak mampu lagi dikendalikan oleh KPU. Entah karena disebabkan  oleh ketidak-mampuan Tim IT KPU ataukah Situng tersebut sudah dikendalikan oleh pihak di luar  KPU sehingga angka-angka di Situng tidak bisa dikontrol  secara keseluruhan.

Kemudian pada tanggal 22 Mei dini hari tiba-tiba KPU mengeluarkan Penetapan Hasil Perolehan Suara Nasional. Menjadi aneh terlihat karena Rekapitulasi Manual Berjenjang sudah mencapai 100% sementara yang ada di Situng saat itu baru mencapai 90% an. Bahkan sampai dengan hari ini tanggal 26 Juni 2019 jam 10.00 WIB angka-angka di Situng baru mencapai 98%. Entah kapan mencapai 100% nya.

Bagaimana mungkin Rekapitulasi Manual bisa mendahului kecepatan Situng yang berbasis teknologi? Analisanya ya seperti diatas. KPU memang tidak mampu mengendalikan Situng yang ada. Situng sampai dengan hari ini 26 Juni 2019 seolah-olah berjalan sendiri dan Tak Bertuan.

Kembali ke sidang MK, bila mengacu UU yang ada, sejelas apapun kesalahan-kesalahan yang terjadi pada Situng menurut saya KPU memang tidak bisa digugat karena  UU yang ada menjelaskan Penetapan Hasil Perolehan Suara dilakukan secara Rekapitulasi Manual Berjenjang. Dapat disimpulkan secara Hukum KPU sulit dipersalahkan dengan "Rusaknya" Kendali Situng tetapi secara fakta Penyelenggaraan Pemilu  2019  oleh  KPU  menjadi Cacat karenanya.

3.Materi Gugatan tentang Penggelembungan Suara.

Tim Hukum 02 menggugat KPU dikarenakan menurut perhitungan kubu 02 terjadi penggelembungan suara oleh KPU dengan menambah perolehan suara Paslon 01 sekitar 20 juta suara. Hasil Penetapan KPU Paslon 01 mendapat 85 juta suara, Paslon 02 mendapat 68 Juta Suara. Sementara perhitungan kubu 02 Paslon 01 hanya mendapatkan 65 Juta Suara sedangkan Paslon 02 memang benar sebanyak 68 juta suara sehingga seharusnya Paslon 02 menang dengan prosentase sebesar 52%.

Dalam hal ini yang dituntut tim Hukum 02 adalah KPU  menjabarkan angka-angka perolehan suara paslon 01 yang sebesar 85 juta suara tersebut. Minimalnya  Tim Hukum 02 meminta KPU menghadirkan Form C7 yang merupakan Daftar Hadir Pemilih di setiap TPS.

Permintaan kubu 02 tentang menghadirkan perhitungan 85 juta suara ditolak Termohon karena menurut termohon seharusnya Pemohon yang membuktikan suara yang 65 juta tersebut. Ini menjadi Polemik  sehingga  menjadi wewenang MK  untuk memutuskannya.

Disisi lain bila  saja form C7 dapat dihadirkan di sidang MK maka dapat terbukti jumlah Pemilih Hadir yang jumlahnya mendekati jumlah perolehan kedua paslon.  Bila Form C7 ada maka akan terlihat total pemilih hadir mencapai sekitar 159 juta orang dimana 85 Juta memilih Paslon 01, 68 juta memilih paslon 02 sementara sisanya merupakan suara tidak sah.  Tapi  sayangnya KPU tidak mampu menghadirkan form C7 di Sidang MK.

Dengan demikian  Kesimpulan saya : Kecurangan TSM untuk penggelembungan suara memang belum terbukti  akan tetapi di sisi lain total perhitungan suara KPU  secara keseluruhan dapat dianggap tidak valid  karena KPU tidak bisa menghadirkan form C7.

4. Materi Gugatan Tentang Dugaan Keterlibatan ASN/Polri.

Dalam materi gugatan ini Tim Hukum 02 menyodorkan banyak link-link berita dari berbagai media yang mengabarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kontestasi Pilpres  terkait dugaan pelanggaran Pemilu oleh ASN, Polri dan BUMN.  Contohnya antara lain Pernyataan Bersama dari Gubernur Jateng dan 29 Bupati/ Walikota Jawa Tengah yang bertekad memenangkan Paslon 01.  Lalu ada berita tentang  pernyataan SBY Presiden RI ke 6 yang menyatakan  ada informasi  rahasia yang diterimanya bahwa  Polri, BIN dan TNI terlibat dalam pemenangan Paslon 01.

Kesulitan Tim Hukum 02 terkait link-link berita adalah menghadirkan saksi yang melihat ataupun mendengar langsung.  Untuk Kasus Gubernur Jateng dan 29  Bupati/ Walikota Jateng pastilah sangat sulit didapat saksinya. Begitu juga dengan pernyataan SBY. Apa mungkin SBY punya kesempatan bersaksi di MK sementara Persidangan MK tahun ini adalah Speedy Trial (Persidangan dengan waktu singkat, hanya 14 hari Jadwalnya).

Satu hal yang disesali kubu 02 dalam materi gugatan ini adalah gagalnya menghadirkan  2 saksi kunci dimana yang satu merupakan seorang aparat dan satu lagi adalah Haris Azhar  yang menjadi saksi pernyataan mantan Kapolsek Pasirwangi Sulman Azis tentang tidak netralnya Polri.  

Satu-satunya saksi Fakta dari tim Hukum 02 yang membuat Pihak Terkait kebakaran jenggot adalah Saksi  Hairul Anas yang pada awal kontestasi Pilpres 2019 berada di kubu 01 karena partainya PBB mendukung Paslon 01.  Kesaksian Anas menjadi Wow karena terbukti dia mendengar langsung strategi kubu 01 dalam Pilpres 2019 dimana  Anas ikut menjadi Peserta pelatihan tertutup Saksi-saksi  Paslon  01 yang akan diterjunkan ke daerah-daerah yang dijadikan target pemenangan Pilpres 2019.

Anas berhasil membuktikan adanya strategi Paslon 01 yang mempresentasikan isu "Kecurangan adalah bagian dari Demokrasi" dalam pelatihan tersebut. Bila peserta Training merupakan Aparat/ ASN dan presentasi tersebut dianggap sebagai Ajakan berbuat  Kecurangan  maka  Kecurangan TSM  itu sudah terbukti. Sayangnya Hairul Anas juga tidak tahu siapa saja yang menjadi peserta training.

Untuk hal lainnya dia berhasil membuktikan hadirnya Gubernur Jateng  Ganjar Pranowo dan Presiden Jokowi ke dalam acara pelatihan tertutup tersebut. Tapi dia tidak bisa memastikan Ganjar ikut menjadi Pembicara yang menyampaikan isu tersebut diatas.

Yang menjadi menggelikan pada materi gugatan ini  adalah saksi fakta yang dihadirkan Pihak Terkait (kubu 01) ternyata bernama Anas juga,Anas Nashikin.  Dan Anas 01 ini begitu grogi ditanya majelis sidang sehingga akhirnya kesaksiannya malah menguatkan kesaksian Anas 02.  Intinya kurang lebih Isu Slide "Kecurangan bagian dari Demokrasi" itu memang ada. Begitu juga kehadiran Ganjar Pranowo dan Presiden Jokowi di acara pelatihan itu juga  terpaksa diamini  oleh Anas 01.

Demikianlah yang mungkin bisa saya gambarkan tentang kuatnya Argumentasi Gugatan Tim Hukum 02 dalam Sidang Gugatan Pilpres 2019 di MK. Bila mengacu pada Materi Pertama (Status Cawapres Paslon 01), bila berdasarkan Hukum seharusnya Paslon 01 didiskualifikasi oleh MK.  Tapi MK pasti memperhitungkan dampak besarnya terhadap bangsa ini.  saya menduga MK tidak akan mengambil langkah ini.

Bila mengacu pada Materi kedua dan Ketiga terkait Situng dan ketidakmampuan KPU menghadirkan Form C7, seharusnya MK memutuskan Penyelengaraan Pilpres 2019 oleh KPU memang Bermasalah (terlalu banyak kekurangan). Dan kalau Penyelenggaran Pemilu bermasalah, tentu hasilnya juga bermasalah. Tapi kembali ke pertimbangan  Majelis Hakim. Bisa jadi tidak seperti itu pertimbangannya.

Dan Bila mengacu pada Materi Keempat, gagalnya 2 saksi kunci  kubu 02 hadir di sidang MK membuat pembuktian materi gugatan keempat ini menjadi kurang kuat.

Mungkin hanya poin-poin diatas ini yang mampu saya analisa. Tetap saja apa-apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim MK tidak mampu kita ketahui sebelum keluarnya Putusan MK besok.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun