Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peliknya Gugatan Pilpres 2019 di MK

17 Juni 2019   09:39 Diperbarui: 19 Juni 2019   05:39 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari Liputan6.com

Kontestasi Pilpres 2019 harus dan harus berakhir dengan baik di Mahkamah Konstitusi. Bila semua masalah-masalah Pilpres 2019 tidak terselesaikan dengan baik maka sangat sulit bagi kita semua untuk membayangkan negeri ini akan kondusif paska Putusan MK diumumkan.  

Pilpres 2019 adalah Pilpres terburuk yang pernah ada. Mungkin terburuk dari seluruh negara demokrasi yang menyelanggarakan Pemilu dimana  di Indonesia ada  600 orang lebih petugas pemilu gugur akibat menjalankan tugasnya. Masyarakat Indonesia pun terbelah dua dan terjadi saling membully dan saling bermusuhan.  Ini barulah  2 dampak dari pelaksanaan Pilpres/ Pemilu 2019 belum lagi lainnya.

Kemudian paska Pengumuman KPU tanggal 22 Mei 2019  terjadilah Kerusuhan yang menimbulkan 9 koban Jiwa dan ratusan orang luka-luka dan ratusan orang ditahan aparat keamanan.  Dengan demikian tidak ada seorangpun yang bisa menyanggah bahwa Pilpres 2019 memang Pilpres terburuk yang pernah ada.

Saya tidak tahu persis tetapi kemungkinan besar  mayoritas Kekacauan-kekacauan di Pilpres 2019 ini salah satu sumber utamanya adalah Ketidak Profesionalan KPU sebagai Penyelenggara.

Sejak awal KPU yang ada memang bermasalah. Pertama soal DPT dimana  DPT yang sejak tahun 2014 sepertinya tidak diperbaiki juga meskipun sudah banyak pihak yang meminta KPU untuk memperbaikinya. 

Disebut-sebut ada belasan juta Pemilih dalam DPT yang tidak jelas.  Di setiap Propinsi ada ribuan Nama dengan NIK yang sama.  Ada ribuan pemilih yang sudah meninggal tapi datanya tidak dihapus. Ada lagi ribuan nama pemilih yang nomor kartu keluarganya sama. Dan lain-lain seterusnya.

Alih-alih diperbaiki DPT yang ada,   KPU malah sibuk menambah DPT dari masyarakat yang kurang penting seperti memasukan pasien RSJ ke DPT dan pemilih baru lainnya. Faktanya kemudian ada beberapa WNA malah masuk ke dalam DPT terbaru. Sementara  lainnya banyak nama warga yang hilang dari DPT ataupun banyak warga yang terpaksa jadi golput karena tidak menemukan TPS yang berisi namanya.

Kekacauan KPU juga terjadi pada saat Hari Pencoblosan. Tidak terhitung banyaknya wilayah seluruh Indonesia yang belum mendapat logistic Pemilu pada hari H. Selain itu juga  ada ratusan kotak suara yang tertukar, ada  ratusan ribu surat suara yang kurang dan lain-lain sebagainya.  Sangat kacau pelaksanaan pemilu di banyak daerah karena terkendala logistic dan waktu yang terbatas. Mungkin hal itu juga yang menjadi penyebab banyak petugas KPPS yang kelelahan dan akhirnya meninggal akibat penyakit lamanya.

Khususnya terkait logistic pemilu, sejak awal KPU diprotes berbagai pihak karena Kotak Suara terbuat dari kardus.  Padahal angggaran Pemilu 25,6 Trilyun rupiah  itu jauh lebih banyak dari pemilu-pemilu sebelumnya yang mampu menyediakan kotak suara dari  alumunium. Akhirnya Pemilu belum dilaksanakan saja sudah ribuan kotak suara rusak akibat banjir dan proses pengiriman.

Puncak kekacauan yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu / Pilpres 2019 adalah carut marutnya proses perhitungan suara oleh KPU. Situng KPU yang anggarannya ratusan milyar rupiah ternyata tidak bisa berfungsi dengan baik. Terlalu banyak entri data yang salah sehingga berkali-kali dikomplain kubu 02.

Ketika kubu 02 bosan mengkomplain dan  meminta hak nya yaitu melakukan Audit Forensik Situng KPU, Komisioner-komisioner KPU malah berdalih bahwa Perhitungan sebenarnya itu berdasarkan Real Count berjenjang.  Situng KPU hanya sebagai patokan sementara untuk mempercepat informasi.

Yang mengejutkan kemudian pada saat Situng KPU baru mencapai 90 % an, KPU malah sudah mengumumkan Hasil Perhitungan Suara Nasional untuk Pilpres 2019 dan Pileg.  Padahal berita-berita yang beredar di media resmi banyak sekali saksi yang tidak mau menandatangani Berita Acara  Sidang Pleno KPUD. Jadi sebenarnya data yang dipakai untuk pengumuman itu data yang berasal dari mana?  

Faktanya sampai hari ini (tanggal 17 Juni 2019), angka -angka di Situng KPU belum ada yang mencapai 100%. Untuk Angka Pilpres total suara masuk baru mencapai 97,88%.  Angka Perhitungan DPR baru mencapai 70,47% sementara angka perhitungan suara DPD tetap Nol sejak awal. Jadi apa fungsi sebenarnya dari  Situng KPU?

Berandai-andai KPU waktu itu bersedia melakukan Audit Forensik tentu Kerusuhan 22 Mei tidak akan terjadi. Korban-korban jiwa tidak akan jatuh. Begitu juga Gugatan 02 ke MK yang sekarang sedang bergulir mungkin tidak pernah terjadi karena sudah disinkronkan dulu hasil perhitungan internal kubu 02 dengan hasil perhitungan KPU.  

Jadi selain tidak profesionalnya KPU, kubu 02 dan masyarakat luas juga menyaksikan banyak terjadi kecurangan-kecurangan di seputar Pilpres 2019. Ada pencoblosan gelap di Selangor Malaysia, ada ribuan suara yang bergeser di Bantul, di Bekasi dan wilayah lainnya. Ada dugaan keterlibatan Polri, ASN dan BUMN untuk memenangkan paslon 01 dan lain-lainnya.

Semua dugaan-dugaan kecurangan itu harus dibuktikan ada atau tidak ada oleh MK. Apa boleh buat MK  memang dituntut  sebagai benteng terakhir penegakkan konstitusi terkait proses Demokrasi dalam Pilpres 2019. MK bukan hanya berdiri sebagai penengah hasil perhitungan suara akan tetapi lebih utamanya adalah menegakkan konstitusi.

Tak  ada seorangpun di negeri ini yang bersedia dipimpin oleh Pemimpin yang dihasilkan oleh pemilu yang curang. Dan bila kecurangan-kecurangan yang ada tetap dibiarkan maka pemilu-pemilu selanjutnya (termasuk Pilkada-pilkada) akan lebih masiv lagi kecurangan yang akan terjadi.  Tidak ada lagi benteng terakhir yang mengawal  Konstitusi jika MK hanya berfungsi sebagai Kalkulator perhitungan suara.

GUGATAN DASYAT KUBU 02 TELAH BERADA DI MK

Mengapa saya katakan dasyat karena memang telak sekali beberapa item dari gugatan dari 02 yang sudah masuk di MK.  Coba kita lihat apa-apa yang terjadi sebelum dan pada saat Sidang Perdana MK 14 Juni 2019 lalu.

Poin krusial yang pertama adalah Pihak TKN sangat terlihat ingin  menghalang-halangi kubu 02 untuk melakukan perbaikan Gugatan ke MK.  Berkali-kali dari pihak TKN meminta agar MK tidak menerima Gugatan Perbaikan dari kubu 02.  Sangat nyata sekali ketakutan yang  melanda di kubu 01.  Apa sebabnya yaa?

Salah satu isi Gugatan 02  yang dasyat adalah terbongkarnya fakta bahwa Cawapres Maruf Amin adalah Pejabat Pengawas di Bank Syariah BNI dan Bank Mandiri Syariah.  Maruf Amin adalah pejabat perusahaan BUMN dan ini melanggar UU Pemilu dan berpotensi  Paslon 01 didiskualifikasi dari kontestasi Pilpres 2019.

Begitu Bambang Widjojanto  menyampaikan ke public soal status Cawapres 01, muncullah berita-berita massive dari kubu 01 bahwa Anak Perusahaan BUMN bukanlah BUMN sehingga Maruf Amin tidak melanggar UU Pemilu.  Dalil yang dipakai adalah Pasal 1 ayat 1 UU BUMN. Ketua Tim Hukum 01 Yusril malah mengatakan tuduhan soal itu mudah dipatahkan. Lagipula menurutnya itu masalah administrasi Pilpres yang seharusnya tidak perlu dibawa ke MK.

Di sisi lain, beberapa saat  sebelum kubu 02 memperbaiki Gugatannya, kubu 01 sudah berkali-kali bilang ke publik bahwa  MK tidak berwewenang mengusut kecurangan TSM karena itu wewenang Bawaslu.  Tapi begitu Gugatan 02 dibacakan di depan sidang MK  dimana  kubu 02  sengaja mengutip pendapat hukum  beberapa  ahli hukum termasuk Yusril Ihza Mahendra yang pernah mengatakan MK harus mampu mengusut kecurangan TSM yang terjadi di Pemilu bukan sekedar mengadili perolehan suara,  maka munculah kepanikan yang terjadi kubu 01. Saat itu juga mereka langsung meminta waktu pada Hakim MK untuk memberi jawaban soal beberapa poin ini.  

Jadi ada 3 poin yang membuat kubu 01 saat ini menjadi panic. Pertama soal status Cawapares Maruf Amin,  Kedua soal Sumbangan Kampanye yang tidak jelas dari akun Jokowi dimana disebut-sebut akun Jokowi menyumbang  sekitar  Rp. 13 Milyar untuk biaya kampanye dan yang ketiga soal wewenang MK untuk menyelesaikan kecurangan yang TSM.

Poin 1 status Cawapres dan poin 2 soal Dana Kampanye memang menyangkut pelanggaran UU Pemilu sementara poin 3 adalah poin yang menentukan apakah MK bersedia mendiskualifikasi paslon 01 atau tidak.

Sebenarnya  2 poin lainnya  yaitu poin keterlibatan Polri, BIN, ASN dan BUMN dan poin Dana APBN digunakan kubu 01. Tapi saya mau focus dulu pada 3 poin yang diatas.  

Untuk poin kesatu, dalil yang dipakai kubu 01 sebenarnya sangat lemah. Mereka hanya mendefenisikan BUMN sebagai  Perusahaan yang dimodali Pemerintah dan dimiliki pemerintah sesuai pasal 1 Ayat 1 UU BUMN tahun 2013. Sementara fakta yang ada meskipun  anak perusahaan BUMN tidak dimodali langsung oleh pemerintah, tetapi semua kegiatan anak perusahaan BUMN  real  dioperasikan oleh BUMN yang ada.  Semua kebijakan, semua keuntungan usaha hingga penempatan direkturnya dan pegawainya memang dikendalikan oleh BUMN  tersebut.  

Menteri BUMN Rini Soemarno pernah membuat pernyataan ke public bahwa  Bank Syariah BNI dan Bank Mandiri Syariah  akan digabungkan untuk menjadi sebuah Bank Syariah yang lebih kompetitif. BPK juga berkali-kali melakukan audit kepada kedua bank syariah ini.  Jadi kalau bukan dipandang sebagai BUMN mengapa Menteri BUMN harus mengurusi  dan mengapa BPK mengaudit bank-bank ini?

Yang paling jelas adalah Putusan Mahkamah Agung  No.21 tahun 2017 yang menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN adalah termasuk BUMN.  Sampai disini sangat clear bahwa secara hukum,  anak perusahaan BUMN adalah BUMN.

KPU YANG PALING STRES DENGAN GUGATAN KUBU 02

Dasyatnya gugatan 02 memang double Impac khususnya status Maruf Amin sebagai pegawai BUMN tetapi diloloskan KPU sebagai Cawapres. Itu artinya KPU melanggar  Pasal 227 p UU Pemilu. Mau didebat bagaimanapun secara hukum KPU dalam posisi yang salah besar.

Bila melihat wajah-wajah komisioner KPU di sidang MK kemarin tampak sekali mereka stress mendengar kubu 02 membacakan gugatannya.  Jauh berbeda dengan wajah-wajah ceria mereka saat setelah mengumumkan hasil Pemilu lalu.

Makanya pada saat sidang mereka meminta waktu kepada Hakim MK dengan alasan Tiket Pesawat Mahal dan susah didapat. Padahal sebenarnya mereka kaget dengan isi gugatan 02 yang mempermasalahkan "Pemilih Siluman" yang berasal dari "TPS Siluman" dan  dugaan penggelembungan suara.

Disebut tim hukum 02 bahwa Surat KPU terakhir sebelum pencoblosan yaitu Surat Nomor 860/2019 Jumlah TPS final sebanyak 810.352 TPS akan tetapi pada Rapat Pleno Nasional (juga Situng KPU) jumlah TPS membengkak menjadi  813.336. Berarti ada selisih 2.984 TPS dadakan  yang bisa dianggap sebagai TPS Siluman dan mampu menambah 1 juta suara.

Tim Hukum 02 juga mempermasalahkan jumlah suara Pilpres yang diraih oleh paslon 01 yang menurut perhitungan kubu 02 terlalu banyak (lebih sekitar 20 juta) .  Sementara perhitungan suara internal  02 untuk paslon 02 memang sama dengan hasil KPU.  Dari Total C1 milik 02 jumlah total Pemilih Pilpres 133 Juta orang sementara versi KPU totalnya 154 juta.  Jadi dalam poin ini  KPU yang harus bisa membuktikan sekitar 21 juta suara lebih itu berasal darimana.

Di sisi lain dari seluruh Publish yang dilakukan KPU hingga saat ini memang tidak ada data yang bisa diakses ataupun berita yang dipublish KPU tentang berapa sebenarnya  perbandingan Total Suara Hasil Pilpres, Hasil Pileg (DPR, DPRD dan DPD).  Di Situng KPU malah DPD kosong melompong datanya.

Dari fakta itu  kita semua tidak tahu pasti berapa total pemilih yang berpartisipasi di DPD dan di Pilpres. Yang pasti seharusnya jumlah total pemilihnya sama dengan demikian mudah bagi KPU untuk menjelaskan di MK tentang selisih 21 juara yang diraih paslon 01.

Saya sendiri menemukan data di media social yang belum saya yakini kebenarannya.  Ada yang menyebut total pemilih DPD sebanyak sekitar 124 juta, ada yang menyebut sebanyak 135 juta dan lainnya.  Tidak ada yang pasti karena KPU juga tidak mengeluarkan data pasti tentang itu.  Bila memang diasumsikan Pemilih yang berpartisipasi untuk DPD sebesar 133 juta maka mengapa selisih dengan Pilpres yang  154 juta begitu banyak?

Salah satu info yang sempat saya copy dari medsos adalah Data Pemilih DPD di propinsi Jateng.  Sama sekali tidak yakin itu benar tapi angka yang tertera adalah : Jumlah Pemilih di Jateng 22,4 Jt orang. Total hasil suara sah Pilpres 21,8 Jt, suara tidak sah 600 ribu. Sementara Total suara sah DPD 16,5 Jt dan suara tidak sah 5,9 juta.  Ini angka yang tidak masuk akal. Masa iya suara tidak sah mencapai  hampir 6 juta?

Hal-hal inilah yang harus dijelaskan  oleh KPU di sidang MK. Bagaimana caranya agar mereka menyajikan data secara jelas tentang Berapa  jumlah DPT, berapa jumlah DPTb, Berapa Pemilih yang Hadir, Berapa suara yang sah dan tidak sah.   Dan kesemuanya itu harus sinkron angka-angkanya.

Akhirnya artikel yang panjang ini harus saya tutup dengan sebuah kesimpulan bahwa secara Hukum dari sekian poin gugatan kubu 02, soal Status Cawapres Maruf Amin saja seharusnya sudah membuat MK mendiskualifikasi paslon 01.  Tapi pasti MK akan berpikir tentang dampaknya bila terlalu tegas melakukannya. Bisa terjadi gelombang massa protes dari pendukung 01 dan akan membuat situasi politik nasional terguncang.

Sungguh berat tugas MK saat ini. Membiarkan Kecurangan terjadi itu sama saja menghancurkan Demokrasi.  Mendiskualifikasi  Paslon yang dimenangkan KPU juga dampaknya sangat luas.  Kemungkinan besar MK akan memerintahkan KPU untuk melakukan Pemilu Ulang. Bila tidak seluruhnya mungkin Pilpres ulang di wilayah-wilayah yang diduga penuh kecurangan seperti Jateng, Jatim, Sumut, Lampung, Jabar dan lainnya.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun