Tapi bagaimana jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih positif? Saya pribadi lebih cenderung melihat ini sebagai langkah strategis yang sangat cerdas.
Sekolah elit, secara statistik, umumnya diisi oleh murid-murid dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Kebutuhan dasar akan makanan bergizi mungkin sudah teratasi di rumah. Pastinya tidak ada siswa yang kelaparan atau kekurangan gizi di sana.
Jika satu sekolah elit menolak jatah 500 porsi MBGÂ mereka dan meminta pemerintah mengalihkannya ke sekolah lain di daerah yang lebih membutuhkan misalnya, sekolah di pinggiran kota, di wilayah miskin, atau sekolah dengan banyak murid dari keluarga prasejahtera, maka dampak positif program itu akan berlipat ganda.
Coba kita hitung sederhana:
- Skenario A (Diterima Sekolah Elit): 500 porsi diberikan kepada anak-anak yang sebagian besar sudah makan enak di rumah. Efeknya? Hanya menambah variasi atau kuantitas, bahkan mungkin tidak akan dikonsumsi sama sekali.
- Skenario B (Dialihkan ke Sekolah Miskin): 500 porsi diberikan kepada anak-anak yang sangat membutuhkan. Bagi mereka, satu porsi makanan gratis yang bergizi adalah perbedaan antara fokus belajar dan perut keroncongan, antara tubuh sehat dan rentan sakit. Inilah yang disebut tepat sasaran.
Dengan mengalihkan jatah, sekolah elit sebenarnya sedang melakukan tindakan sosial yang luar biasa efektif. Mereka menggunakan privilege mereka (tidak membutuhkan bantuan tersebut) untuk memastikan bantuan itu mencapai tempat yang paling rentan. Ini adalah manifestasi nyata dari gotong royong modern.
Bukan Hanya Soal Uang
Ini juga bukan hanya soal uang yang bisa mereka bayar sendiri. Ini soal alokasi sumber daya negara. Kalau sumber daya (makanan, tenaga, logistik) dialokasikan ke tempat yang tidak membutuhkan, itu sama saja pemborosan.
Ketika sekolah elit menolak, mereka secara tidak langsung berteriak, "Terima kasih, tapi sumber daya ini akan jauh lebih bermanfaat jika diberikan kepada yang kekurangan!" Ini adalah solidaritas tersembunyi.
Belajar dari Keikhlasan
Pada akhirnya, saya yakin bahwa niat sekolah elit yang menolak MBG adalah kemanfaatan, bukan gengsi. Mungkin ada sedikit sentuhan menjaga citra, tapi manfaat sosial dari pengalihan bantuan ini terlalu besar untuk diabaikan.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua: Keberhasilan sebuah program bukan hanya diukur dari berapa banyak yang menerima, tetapi seberapa efektif penerimaannya dalam mengatasi masalah.
Jika sekolah elit mau ikhlas melepas hak mereka demi memastikan anak-anak lain bisa makan, itu adalah sebuah kebijaksanaan yang patut diacungi jempol.
Semoga langkah ini menjadi contoh nyata agar alokasi bantuan pemerintah, dalam bentuk apa pun, selalu didasarkan pada skala prioritas dan kebutuhan mendesak, bukan sekadar pemerataan tanpa pandang bulu.