Di Tiktok beredar sebuah video sejumlah wali murid dari SDIT Al Izzah, Kota Serang, menolak keras program MBG masuk ke sekolah tersebut. Mereka merasa tidak pantas mendapat MBG, karena para murid Al Izzah berasal dari kalangan berada.
@serangtoday Penolakan keras dari wali murid di sekolah Al Izzah, Kota Serang terhadap program MBG. mereka meminta, agar yayasan tidak asal membuka dapur MBG di sekolah, karena para wali murid merasa MBG cukup untuk siswa yang kurang mampu. #fypÂ
Ketika menonton videonya, pikiran saya langsung terbagi dua. Ada suara sinis yang berbisik, "Ah, ini pasti gengsi! Sekolah mahal, muridnya bawa bekal salmon atau wagyu, masa mau disamakan dengan jatah gratis dari pemerintah yang isinya tempe orek? Takut citra eksklusifnya luntur!"
Tapi ada juga suara lain yang lebih pragmatis, yang mengatakan, "Tunggu dulu, bukankah ini justru langkah yang sangat bijak?"
Argumen 1: Gengsi yang Mengalahkan Kebutuhan
Sekolah elit punya standar yang tinggi, bahkan untuk urusan makanan. Mereka mungkin sudah punya kontrak dengan katering tertentu, atau memang mewajibkan siswa membawa bekal dari rumah yang sudah terjamin kualitas dan jenisnya.
Ketika program MBG masuk, ada beberapa kemungkinan:
1. Â Isu Kualitas: Meskipun program pemerintah pasti menjamin gizi, sekolah elit mungkin merasa kualitas dan variasi makanan gratis ini tidak "selevel" dengan standar makanan yang biasa dikonsumsi murid mereka.
Ini bukan soal meremehkan, tapi lebih ke mempertahankan comfort zone dan ekspektasi yang sudah terbentuk.
2. Â Isu Logistik dan Higiene: Sekolah-sekolah ini punya kantin yang sudah sangat ketat aturannya. Memasukkan sistem distribusi makanan baru bisa jadi rumit, mengganggu jadwal, dan mereka mungkin khawatir tentang konsistensi standar kebersihan dalam skala besar. Apalagi dengan adanya ribuan kasus keracunan akibat mengonsumsi MBG yang sudah basi.
3. Â Citra Sekolah: Ya, harus diakui bahwa sekolah elit menjual nilai eksklusivitas. Menerima MBG bisa dilihat oleh sebagian orang tua murid sebagai pengakuan bahwa sekolah tersebut "membutuhkan" bantuan, yang bisa jadi sedikit mengikis citra mandiri dan premium mereka. Saya tidak bilang ini benar, tapi ini adalah realitas persepsi pasar.
Jika penolakan ini murni karena tiga poin di atas, maka ya, kita bisa sebut ini gengsi. Dan itu sedikit menyedihkan, karena fokusnya jadi bukan pada pendidikan atau bahkan gizi, tapi pada image.