Dalam setiap cerita micro drama produksi China, ada satu benang merah yang saya perhatikan selalu muncul, yakni CEO yang jatuh cinta dengan orang biasa atau dari kalangan kelas bawah.
Entah kenapa, pola cerita ini menjadi seperti magnet buat penonton. Ada alasan di balik tren ini, dan saya bakal bongkar satu-satu.
Fantasi Ekonomi: Menjual Impian yang Mustahil
Coba jujur sama diri sendiri. Siapa sih yang nggak pengen hidupnya berubah drastis? Micro drama ini pintar banget memainkan fantasi ekonomi.
Cerita tentang CEO ganteng yang rela meninggalkan harta dan status demi cinta sejati itu ibaratnya tiket VIP ke dunia mimpi. Kita tahu hidup nggak seindah itu, tapi tetap aja nonton sambil berharap, "Kapan giliran aku?"
Pola ini memanfaatkan kenyataan bahwa banyak penonton berasal dari kelas menengah ke bawah. Mereka butuh pelarian dari urusan bayar utang, drama keluarga, atau kerjaan rumah yang numpuk. Drama seperti ini menawarkan kenyamanan psikologis dan angan-angan manis, meski cuma sebentar.
Baca: Kisah Cinta Si Kaya dan Miskin Selalu Menarik Untuk Ditonton
Part 1-4 : I Married a CEO and didn't knowÂ
CEO Ganteng, Kaya, Tapi Kurang Kerjaan?
Ayo kita bahas logika di balik karakter CEO ini. Kalau dipikir-pikir ngapain juga ya CEO-CEO ini punya waktu buat jalan-jalan di taman dan secara ketemu atau dikenalin dengan wanita yang lagi jualan baju? Bukannya harusnya mereka sibuk bikin deal jutaan dolar?
Ini nih, sisi absurd dari cerita micro drama. CEO di sini bukan cuma pengusaha sukses, tapi juga kurang kerjaan dan punya banyak waktu kosong: mereka kadang menyamar jadi sopir taksi, dikira tukang antar makanan, bahkan hingga yang ekstrem, pura-pura jadi pengemis.
Kalau CEO asli kayak gitu, mungkin startup tempat kamu bekerja sudah jadi unicorn sekarang.
Unsur Cinderella yang Selalu Laku
Pasti tahu dong cerita Cinderella? Micro drama China pada dasarnya mengadaptasi dongeng ini ke level modern. Cuma bedanya, sepatu kacanya diganti dengan makanan jalanan atau pertemuan nggak sengaja di jalan. Orang suka cerita Cinderella karena selalu ada unsur keajaiban dan keadilan: yang baik selalu menang, yang jahat selalu kalah.
Di dunia nyata, kita tahu yang jahat sering menang. Makanya, drama-drama ini menawarkan versi alternatif yang lebih adil. CEO yang awalnya sombong bisa luluh oleh ketulusan si tokoh utama yang miskin. Penonton tepuk tangan sambil berkata, "Ini nih, dunia yang aku pengen."
Tidak Selalu Tentang Cinta, Tapi Tentang Kekuatan
Kalau dipikir-pikir, cerita ini bukan cuma tentang cinta, tapi juga tentang kekuatan. Orang miskin dalam cerita ini sering digambarkan sebagai karakter kuat, mandiri, dan tidak gampang menyerah.
CEO yang tampan dan kaya ini jatuh cinta bukan karena wanitanya cantik, tapi karena mereka punya sesuatu yang CEO itu tidak punya: keberanian menghadapi kesulitan hidup.
Ini adalah pelajaran tersirat yang micro drama coba sampaikan: bahwa uang bukan segalanya. Tapi mmmm ....tetap aja ceritanya sering bias. Ujung-ujungnya, mereka hidup bahagia karena duit si CEO, kan?
Produksi Murah, Untung Maksimal
Jangan lupakan satu hal penting: micro drama ini bisnis. Cerita CEO dan orang miskin itu murah buat diproduksi. Produksinya tidak perlu lokasi mahal, aktor/aktris kelas A, atau CGI keren. Cukup satu kantor palsu, satu rumah sederhana, Â dan beberapa adegan di taman umum.
Selain itu, cerita micro drama dipotong-potong jadi bagian pendek. Kalau kamu lagi malas, bisa binge-watching 10 episode dalam 10 menit. Produsernya pintar banget memahami algoritma platform digital yang menuntut engagement tinggi dalam waktu singkat.
Regulasi Baru: Pemerintah China Mulai Turun Tangan
Tapi, tunggu dulu. Pemerintah China juga mulai merasa cerita-cerita ini kelewat batas. Menurut laporan Global Times di artikelnya yang berjudul "China to regulate CEO romance micro dramas, warns against content promoting materialism, flaunting of wealth: report," otoritas penyiaran China mengeluarkan pedoman baru untuk mengatur micro drama yang menampilkan romansa CEO. Mereka menekankan agar konten tidak mempromosikan materialisme, pamer kekayaan, atau mengejar kekuasaan melalui pernikahan.
Pedoman tersebut juga menyoroti pentingnya cerita soal pengusaha harus lebih realistis. Jangan yang lebay banget sampai nggak nyambung dengan dunia nyata. Nanti malah bikin persepsi masyarakat jadi aneh tentang dunia bisnis.
Makanya para pembuat micro drama disarankan membuat cerita dari sudut pandang yang lebih berbobot, seperti sejarah atau kondisi bisnis zaman sekarang. Bukan cuma fokus di drama percintaan atau konflik keluarga saja.
Langkah ini menunjukkan kalau pemerintah China ingin industri hiburannya lebih sehat dan sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka. Jadi nggak asal ngikutin tren aja!
Apakah Ini Akan Berhenti?
Kemungkinan besar, tidak. Pola cerita ini sudah terbukti sukses menarik jutaan penonton. Selama orang masih ingin bermimpi, selama algoritma masih mendukung, CEO ganteng dan cewek miskin akan terus menghiasi layar kecil kita.
Meskipun klise, micro drama ini tetap punya tempat di hati penontonnya. Karena di balik absurdnya cerita, ada harapan yang mereka tawarkan: bahwa cinta sejati, entah bagaimana caranya selalu menemukan jalannya. Bahkan di antara gedung pencakar langit dan lapak baju di kaki lima.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI