Mohon tunggu...
Rully Moenandir
Rully Moenandir Mohon Tunggu... Administrasi - TV and Movie Worker

Seorang ayah dari 4 anak yang bekerja di bidang industri televisi dan film, serta suka sekali berbagi ilmu dan pengalaman di ruang-ruang khusus sebagai dosen maupun pembicara publik. Baru buat blog baru juga di rullymoenandir.blogspot.com, setelah tahun 2009 blog lamanya hilang entah kemana.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tantuni, Enak di Lidah Hemat di Kantong

24 Januari 2019   07:09 Diperbarui: 24 Januari 2019   13:25 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinggal di Bremen sebetulnya enak. Kota dengan penduduk hanya sekitar setengah juta jiwa ini, sudah sangat lengkap, bahkan terbilang mewah.

Memang, di kota ini tidak tersedia moda transportasi seperti U-Bahn atau S-Bahn layaknya di kota besar di Jerman, namun untuk transportasi dalam kota, tersedia tram, baik model lama maupun model baru yang hilir mudik ke seluruh penjutu kota, transportasi air juga ada, bahkan bus-bus dengan shift malam juga tersedia. Jadi bisa dibilang, untuk bepergian di Bremen tidak usah khawatir akan kesulitan moda transportasi.

Maklum saja, Bremen sangat berdekatan dengan Kota Hamburg sebagai kota besar, dan juga Bremen memiliki kota satelit bernama Bremerhaven. Jadi, tidak heran jika banyak warga Bremen yang beraktifitas di Hamburg dan Bremerhaven. Mereka mencari kota yang tidak seramai dan "semahal" Hamburg, namun juga tidak "terpencil" seperti Bremerhaven.

Foto: tellerreport.com
Foto: tellerreport.com
Kelengkapan kota ini juga oke lho, misalnya Bandara Bremen melayani hampir semua penerbangan langsung ke seluruh negara Eropa, karena kota ini merupakan salah satu destinasi wisata Jerman, yang dimasukkan kedalam kota Multiligual. 

Jadi, kalau misalnya kita berjalan-jalan di Jerman biasanya penduduknya enggan berbahasa selain bahasa Jerman; di Bremen, para penduduk terutama pelaku bisnis, disarankan menguasai minimal 3 bahasa internasional, demi memanjakan turis yang datang.

***

Nah, terkait itu, di Bremen juga tidak kalah lengkap dengan wisata kulinernya. Penduduk asli jerman, Pendatang etnis Turki, China, dan Afrika pun menghiasi setiap sudut kota yang luasnya hanya separuh luas DKI Jakarta ini, bertebaran makanan-makanan khas negeri asal masing-masing.

Namun jika dibandingkan dengan Berlin yang menyandang gelar Metropolitan, restoran disini tidak sebesar yang ada di Berlin maupun Hamburg. Mereka biasa hanya menggunakan kios-kios kecil saja, dengan kapasitas maksimal 10-15 orang pengunjung, namun memang beberapa yang biasanya sangat padat dan sampai membuat antrian panjang, akhirnya beberapa memperluas tempat usahanya.

Misalnya, restoran China dan Jepang, rata-rata mereka memiliki space yang agak besar, yah mungkin karena banyak sekali memang pelajar-pelajar dari kawasan Asia disini, belum lagi banyak pekerja juga berasal dari China selain tentunya penggemar masakan China yang terkenal praktis, dan masih cocok di lidah orang Jerman.

Untuk restoran Jepang sendiri, kebanyakan memang menyediakan Sushi sebagai menu utama, bahkan kalau dihitung-hitung, hampir semua restoran Jepang menyediakan Suhsi Bar alias Sushi All You Can Eat, yang disajikan diatas roller berjalan. Mungkin karena fasilitas inilah maka rata-rata restoran sushi pasti agak banyak memakan ruang.

***

Foto: ta-dip.de
Foto: ta-dip.de
Oh ya, di Bremen banyak sekali komunitas muslim. Makanya di kota ini berdiri dengan megah sebuah masjid besar yang bentuknya betul-betul masjid (biasanya masjid di jerman hanya berupa ruko atau memanfaatkan bekas pabrik/gudang yang sudah tutup), jadi tidak aneh jika yang bertebaran justru makanan-makanan khas Timur Tengah, dibanding makanan khas Jerman yang memang....itu-itu saja sih :)

Untuk saya dan temen-teman yang Muslim, layaknya di kota lain di Jerman atau mayoritas Eropa, menu andalan untuk makan besar ataupun ngemil kami adalah Kebab atau Durum. 

Tapi uniknya, di Bremen ini juga banyak warga asli Jerman non-muslim yang berjualan Kebab atau Durum tadi (pastinya karena untuk meraih pasar yang cukup besar)...jadi, jika ingin membeli, perhatikan dulu tulisan di depan kiosnya, ada tulisan HALAL atau tidaknya, jika ada ya amanlah ya.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Nah, gara-gara kondisi tadi, saya dan beberapa kawan-kawan disini mencoba beberapa alternatif makanan, karena jujur saja...GANK kami ini jago-jago masak semua lho.

Saya sendiri, sebelum ke Jerman di tahun 2005, sengaja belajar masak ke Mamah saya yang emang dari sananya sudah jago, plus belajar beberapa menu internasional dengan salah satu saudara dekat yang menjadi Chef di Hotel terkenal di Jakarta. 

Belum lagi, teman-teman dari Indonesia lainnya yang memang sama mempersiapkan diri soal masak-memasak ini, karena di Jerman ini sedikit "unik" dibanding pelajar-pelajar Indonesia di Malaysia, Amerika, Australia misalkan.

Di Negara-negara tadi, tidak heran jika ada pelajar yang kemana-mana bermobil pribadi, atau tinggal di tempat-tempat mewah selama mereka merantau...di Jerman ini, justru ajaib jika ada pelajar kita yang menggunakan kendaraan pribadi atau bergaya hidup mewah.

Justru di Jerman ini, lebih banyak pelajar yang kerja "kasar" seperti supir, kuli bangunan, pelayan, atau bahkan tukang sampah, yang dipilih sebagai pekerjaan saat ada waktu senggang.

Kembali ke soal makanan, karena terlalu banyaknya makan makanan Arab, kami akhirnya mencari alternatif lain, bukan makanan besar memang (karena biasanya kami untuk makan besar masak sendiri), justru yang kami cari adalah cemilan baru, yang unik, enak di lidah, dan....MURAH tentunya !!

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Sampailah kami di salah satu kios yang sebetulnya sering kami lewati karena dekat sekali dengan Hauptbahnhof Bremen, dimana setiap pagi kami pasti kesitu untuk pergi ke Bremerhaven untuk menuntut ilmu. Di situ unik sekali tertulis "MERSIN (tantuni & grillhaus)", apa itu mersin? apa itu tantuni?

Penasaranlah kami (sebetulnya terpaksa sih, karena hari itu libur, hampir semua toko tutup, hanya ini yang buka). Setelah masuk ke kios kecil dengan sekitar 3 meja yang masing-masing punya 4 kursi ini, kami disambut "harum" yang baru dibanding biasanya. Kios dengan dinding penuh gambar-gambar rumah dengan tulisan MERSIN, dan cabe bubuk khas restoran Arab di meja.

Sang koki yang menyambut, mengatakan agar kami menuggu agak lama, karena dia baru saja buka dan masih proses beres-beres. Kamipun mempersilakan sambil penasaran clingak-clinguk ke dalam etalase restoran.

Foto: facebook.com/Mersin-Tantuni-Grillhaus
Foto: facebook.com/Mersin-Tantuni-Grillhaus
Hanya ada, daging yang dipotong kecil-kecil, tomat, bawang bombay yang sudah dicacah, cabai hijau yang sudah dijadikan asinan, bumbu-bumbu, sedikit sayuran mirip untuk kebab, dan nampan besar yang ditegahnya melengkung kedalam seperti topi meksiko yang lebar namun dibalik. Di mana masaknya, kami pikir saat itu. 

Berbeda sekali dengan restoran-restoran arab atau turki lainnya, yang mereka punya panggangan daging putar, tungku untuk memasak, atau kompor panggang dan microwave pasti bisa terlihat jelas dari meja tempat pengunjung menikmati makanan.

Kira-kira 10 menit kemudian, sang koki (yang kemudian ternyata dia juga pemilik kios ini) menanyakan kami akan memesan apa. Tentu saja kami juga bingung, karena tidak tersedia menu apapun baik di dinding, etalase maupun di meja. 

Setelah dijelaskan bahwa ia hanya memiliki menu TANTUNI dan LAHMACUN (pizza turki) saja, bahkan minuman-pun hanya tersedia teh panas, dan minuman botol yang jenisnya sangat terbatas.

Ya sudah, kami pesan Tantuni saja, karena Lahmacun sih sudah pernah dan agak kurang cocok di lidah kami.

***

Layaknya kios kebab, pembuatan Tantuni juga dilakukan di depan etalase kaca, lempengan besi bak topi Meksiko dibalik tadi, ternyata itulah tempat meracik tantuni. Daging potong kecil-kecil tadi yang bisa dipilih apakah Sapi atau Domba, dimasak didalam cekungan, sedangkan sayur, tomat, dll dimasukkan setelah daging matang. 

Sangat harum, terlebih ketika mulai diberikan bumbu oleh sang koki. Setelah daging matang,  sisa-sisa minyak dari daging, mengalir kebawah, karena ada sedikit lubang dan saluran buangan disekitar "topi meksiko"nya.

Daging dan sayur yang sudah dimasak tadipun, dibungkus kedalam kulit pembungkus yang sama dengan kulit pembungkus kebab, namun berukuran lebih kecil (kebab jerman rata-rata diameter kulitnya sekitar 30-40 cm, untuk tantuni sekitar 10-15 cm saja). 

Lalu dihangatkan ulang bersamaan dengan kulitnya sampai kecoklatan, dan disajikan di piring kecil bersamaan dengan JERUK LEMON dan ASINAN CABAI !! Walah, apalagi ini? hal baru buat kami semua, karena kalau kebab ya kebab saja, nanti pas dimakan, pedasnya menggunakan cabai bubuk (di Indonesia kayak Bon cabe) tanpa embel-embel apapun.

Setelah tersaji di meja, kamipun menanyakan, jeruk dan cabai tadi untuk apa? Ternyata setelah dijelaskan, jeruk tadi diperas di mulut Tantuni yang terbuka, biarkan mengalir kebawah meresap ke seluruh bagian, dan cabai tadi untuk menambah kesegaran (karena memang cabai yang sudah jadi asinan tidak lagi pedas).

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Saya pun memulai duluan karena sudah lapar, dan penasaran sekali dengan rasanya...setelah menaburkan cabe bubuk, gigitan pertama sangat istimewa !

Daging-daging kecil tadi sangat gurih, karena memang dimasak juga dengan potongan-potongan gajih (lemak), bumbu-bumbu yang digunakan pun sangat terasa, berbeda sekali dengan kebab yang biasa saya makan. Asemnya lemon dan segarnya asinan cabai-pun menambah kenikmatan gigitan-gogitan berikutnya. Super deh.

Gak kerasa, tantuni yang padat tadi sudah habis dalam genggaman, akhirnya...pesen lagi. Hehehehe...

Di pemesanan berikutnya inilah, kami baru tahu, kalau foto-foto di dinding dengan tulisan MERSIN itu adalah nama propinsi di Turki, Propinsi Mersin, dengan penduduk sekitar 300an ribu orang saja, dan Tantuni, adalah masakan khas Mersin, yang jika di Istanbul, ibukota Turki, banyak dijajakan di gerobak-gerobak atau sebagai menu cemilan di restoran atau kios makan.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Oh ya, soal harga, tidak jauh berbeda dengan kebab. Saat itu (2008) 1 porsi Tantuni sekitar 3,5EUR gratis teh hangat, dan sambal bubuk sepuasnya. Untuk urusan cabe buuk ini memang jadi catatan tersendiri dari si empunya kios, katanya kami kok kuat bangat makan pedas, sampai tempat berisi cabe tadi hampir habis, padahal baru diisi penuh.
====
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Nah, jadilah rasa penasaran kami terhadap Tantuni (walau sebetulnya terpaksa dan tidak sengaja) berkelanjutan. Di hari-hari kedepan kami mengurangi pembelian Kebab sebagai jajanan, dan mengalihkan ke mengkonsumsi Tantuni yang enak, lezat, gurih (mungkin karena baru ini ada jajanan yang menggunakan lemak di Jerman), dan murah pastinya.

Jadi kangen Tantuni nih, di mana yah yang ada di Jakarta? Nanti dicari deh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun