Mohon tunggu...
Ruli Mustafa
Ruli Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

THE TWINSPRIME GROUP- Founder\r\n"Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat apa yang disampaikannya" (Ali bin Abi Thalib ra). E-mail : hrulimustafa@gmail.com. Ph.0818172185. Cilegon Banten INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beri Maaf, Jangan Tunggu Diminta

21 Juni 2018   06:13 Diperbarui: 21 Juni 2018   09:56 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"...dan memaafkan (kesalahan) orang. ALLAH menyukai orang orang yang berbuat kebajikan" ( QS.Ali Imran 134)

Salahsatu tanda orang yang bertakwa berdasarkan firman Allah di QS.3:134 adalah "Wal 'Afiina 'Aninnaas" artinya memaafkan (kesalahan) orang lain ; "and who pardon the people". Ini kalimat yang menunjukkan tindakan aktif dan nyata untuk memberi maaf. Lalu bagaimana dengan ucapan minta maaf sampai ada diksi " mohon" segala di masyarakat kita. Maksudnya soal maaf ini, sebaiknya meminta atau memberi ya ?

Pertanyaan ini tentu terkait dengan tradisi kaum muslim, khususnya di Indonesia di setiap momen Idul Fitri, yaitu soal memberi maaf dan meminta maaf, mana yang lebih afdol, yang  baik dan benar, atau setidaknya mana yang lebih utama menurut syariat agama Islam ?

Di kalangan masyarakat muslim dunia, hanya Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam saja yang memiliki tradisi ini, di Arab Saudi  dan negeri negeri muslim lainnya setahu saya tidak ada.

Selain itu ucapan mohon maaf lahir dan batin dirangkai pula dengan kalimat "Minal aidin wal faidzin", seolah olah itu terjemahan bahasa Arabnya, padahal sama sekali tak terkait. Aslinya "Minal Aidin wal-Faidzin" terdiri dari beberapa penggalan kata. Min artinya 'termasuk', Al-aidin artinya 'orang-orang yang kembali', Wal Artinya 'dan', serta Al-faidzin Artinya 'menang'.

Jika dimaknai secara harfiah, kalimat Minal 'Aidin wal Faizin dalam bahasa indonesia menjadi 'Termasuk dari orang-orang yang kembali dan menang'. Ucapan ini bukan berasal dari generasi para sahabat ataupun para ulama setelahnya atau Salafus Salih. Konon ini berasal dari seorang penyair pada masa Andalusia, yang bernama Shafiyuddin Al-Huli, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengisahkan dendang wanita di hari raya pada masa itu.

Meminta maaf terhadap sesama muslim selama ini dianggap sebagai tradisi yang baik sebagai perekat hubungan interpersonal. Di Indonesia terlebih lagi, ada tambahan "lahir dan batin" segala, jadi bukan sekadar minta maaf "biasa" tapi sudah "dalem banget". Entah tulus, entah memang terbiasa dengan basa basi ala melayu, yang penting ada sesuatu yang khas disampaikan, sebagai icon berhari raya.

Kembali ke pertanyaan awal soal mana yang lebih tepat soal maaf-memaafkan ini ?, menurut saya yang jauh lebih penting adalah memaafkan atau memberi maaf kepada orang lain yang mungkin pernah bersalah kepada kita, lalu bentuknya apa ? do'akan saja, ya do'akan hal hal baik untuknya, bukankah do'a yang kita mohonkan kepada Allah untuk orang lain secara diam-diam akan di aminkan malaikat ? dan kita yang mendoakan pun akan memperoleh kebaikan yang senilai dari doa tersebut.

Lalu ada posting soal ini di grup WhatsApp yang saya ikuti terkait dengan momen Idul Fitri tahun ini ; "Luar biasa pada hari ini dan kemarin tidak ada orang yang merasa benar, semua mengaku salah dan tanpa malu meminta maaf, betapa damainya negeri ini bila "ruh" Idul Fitri selalu menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan bahkan pekerjaan, mari kita biasakan menjadi orang yang berani mengakui salah, bukan orang yang selalu merasa benar atau hebat, damailah negeriku !".

Dalam konteks etika dan tatakrama tentu saja persepsi itu tidak salah, sebab ada nilai kebaikannya, bukankah setiap kebaikan itu sedekah ? Kalau soal interaksi maaf memaafkan secara verbal maupun lewat tulisan tersebut dianggap ekuivalen dengan sedekah, bukankah terkait dengan "take and give" ini, Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah berpesan bahwa tangan diatas itu lebih baik daripada tangan dibawah, artinya memberi lebih baik daripada menerima/meminta.

Bagaimana bila hal ini kita kaitkan dengan interaksi sosial terkait tradisi di hari raya ?, bukankah orang yang diam diam ikhlas memberi maaf kepada mereka yang berbuat salah pada hakikatnya lebih baik daripada orang orang yang minta maaf akan tetapi sekedar basa-basi saja?  Artinya, disisi lain, masyarakat muslim, khususnya di Indonesia ini harus diberikan pencerahan juga soal "manajemen hati", dan tidak melulu melanggengkan tradisi berbasa basi, padahal tak jarang hal seperti ini lain di mulut lain di hati. Tak heran bila ada seloroh bahwa seremoni "maaf-maafan" seperti sekadar main-main, artifisial, ngga serius, bukan permaafan benaran. Janganlah begitu !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun