Komitmen pemerintah untuk tidak lagi melulu membangun pulau Jawa, dan bertekad untuk mengubah magnet pembangunan ekonomi dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris adalah sesuatu yang baik untuk keadilan dan pemerataan, juga mengingat kondisi pulau Jawa  dewasa ini yang menghadapi aneka persoalan, dari mulai tingkat kepadatan penduduk hingga sumberdaya alam yang semakin menipis.
Pulau Jawa (Javanesse) sudah mendunia, namanya kerap disebut dalam literatur geografi global sebagai salahsatu pulau terluas ke 13 di dunia (luas 127 ribu km2), dengan penduduk sekitar 160 juta jiwa (2017). Pulau Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal abad ke-19 dan abad ke-20 karena ketenaran kopinya, sehingga nama Java telah menjadi sinonim untuk kopi dan menjadi ikon terkait program komputer Javascript.Â
Di Indonesia, pulau Jawa menempati urutan terluas ke 5, namun uniknya  60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau ini - artinya jelas ada ketidakmerataan penyebaran penduduk. Sejarah mencatat sejak jaman dulu, pulau ini menjadi pusat kegiatan masyarakat dan otomatis berdampak besar terhadap kehidupan industri, politik, dan ekonomi Indonesia.Â
Jawa terkenal sebagai pengekspor beras sejak zaman dahulu, sebagai penyangga kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Namun andalan Jawa sebagai penyangga menghadapi tantangan berat di masadepan. Kini penduduk Pulau Jawa perlahan-lahan semakin berciri urban, dan kota-kota besar serta kawasan industrinya menjadi pusat-pusat kepadatan tertinggi.Â
Pulau Jawa yang memiliki magnet  kegiatan ekonomi dan sosial tak lepas dari tingkat kesuburan tanahnya yang cukup tinggi. Sebagai pusat kegiatan yang terus bertumbuh, ada beberapa kekuatiran atas eksistensi pulau ini di masadepan. Antara lain adalah :Â
Pertama, tingkat kepadatan penduduk yang tergolong tinggi, yakni Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km, serta tingkat pertumbuhannya yang relatif cepat. Pertambahan penduduk yang berasal dari dua hal, yakni pertambahan alamiah (lokal) dan pertambahan migrasi dari wilayah lain karena faktor ekonomi dan sosial.Â
Faktor ekonomi biasanya yang paling mendominasi, karena Jawa memiliki magnet tersendiri, mengingat keadaan geografisnya yang menjanjikan sebagai tempat yang dianggap lebih strategis ketimbang wilayah lain terkait memburu mata pencaharian.
Kedua, pembangunan yang gencar di pulau Jawa, pada kenyataannya tidaklah konsisten terkonsentrasi pada pembangunan lumbung-lumbung pangan semata, karena lahannya semakin terdesak oleh keperluan pembangunan infrastruktur non pertanian (jalan raya, jembatan, pembangkit listrik, bandara dll) serta pemukiman, real estatetermasuk tumbuh dan berkembangnya gedung-gedung perkantoran.Â
Makin maraknya pembangunan "hutan beton" di pulau Jawa telah memaksa lahan pertanian yang diharapkan menjadi basis program swasembada pangan Indonesia, makin lama makin kecil dan tergusur, artinya mulai tidak berimbangnya pemenuhan pangan dari lumbung sendiri dengan banyaknya jumlah penduduk yang memerlukan komoditas pangan.Â
Ini adalah ancaman defisit paling serius yang boleh jadi akan mengancam pulau Jawa di masadepan.
Ketiga, ancaman deforestasi atau kerusakan hutan dan abrasi pantai serta semakin berkurangnya persediaan air tanah akibat penyedotan besar-besaran air tanbah guna kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri.