Fajriyah menjelaskan Fortune Global (yang diterbitkan oleh Fortune/Money Group milik Time Inc.) telah melakukan aksi monitoring pasif, tanpa melakukan klasifikasi langsung dengan Pertamina.
Menurutnya, berkiblat kepada financial report tahun 2019, semestinya Pertamina masuk dalam Fortune 500.
"Pada saat itu (2019), Nippon Steel dengan pendapatan 54,45 miliar dolar AS berada di peringkat ke 198, sedangkan Pertamina meraih pendapatan 54,58 miliar dolar AS. Nippon Steel juga mengalami kerugian sebesar 3,97 miliar dolar AS, sedangkan Pertamina malah laba 2,5 miliar dolar AS. Jadi sebenarnya kami masih Top 500," tutur Fajriyah Usman.
Itulah alasan mengapa Pertamina perlu mendapatkan penjelasan, dan Fajriyah optimis tahun depan Pertamina dapat kembali ke 500 yang lebih baik lagi.
Sementara itu kasus ini juga mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono.
Poyouno merasa heran, mengapa Pertamina yang memonopoli dan tidak ada saingannya, ditambah lagi BUMN ini juga tidak menurunkan harga BBM ketika crude oil price rendah karena korona. "Kok bisa rugi ya?" katanya.
Dalam hal tersebut Poyouno meminta Presiden Jokowi untuk meninjau ulang kinerja Ahok dan direksi lainnya di Pertamina yang tidak mempunyai kapasitas sebagai world class management.
Poyouno mengatakan jika miss management ini dibiarkan maka dipastikan perusahaan minyak nasional ini nantinya bakal memberatkan APBN kita.
Sepertinya Pertamina tidak sendirian dalam masalah ini.
Reuters mengabarkan perusahaan minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, juga sedang buntung.
Padahal Saudi Aramco sebelumnya disebut-sebut sebagai perusahaan yang paling menguntungkan di dunia. Namun di kuartal kedua tahun ini perusahaan itu menderita penurunan laba bersih sebesar 73,4 persen.