Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Suku Tengger Masih Memegang Tradisi Menggunakan Sarung

28 Mei 2018   05:59 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:41 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi masyarakat Suku Tengger di Pegunungan Bromo, sarung ternyata tak hanya digunakan sebagai pakaian pengusir dingin. Sarung adalah simbol harga diri, tren, dan juga identitas. Oleh karenanya, jika ada masyarakat Suku Tengger yang tidak mengenakan sarung, maka akan jadi bahan pergunjingan.

Sepuluh pemuda berjejer rapi menanti rombongan kami yang datang ke Desa Argosari, Lumajang, Jawa Timur. Mereka mengenakan sarung dan penutup kepala berbentuk udeng. Penampilan mereka mencuri perhatian rombongan yang ingin mengejar matahari terbit di Puncak B-29, kawasan wisata yang terkenal dengan sebutan "Negeri di Atas Awan".

Rasa penasaran itu makin menjadi-jadi. Tidak hanya sepuluh pemuda tadi, melainkan hampir seluruh penduduk Desa Argosari mengenakan sarung. Uniknya, sarung tidak hanya disampirkan atau dililitkan ke pinggang. Setiap orang mengenakan sarung sesuai karakternya. Seolah sarung adalah penanda fesyen seseorang.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Budiyanto menjelaskan sarung memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger. Penggunaan sarung pun memiliki banyak cara untuk memakai berdasarkan fungsi.

Desa Argosari yang berada di ketinggian di atas 2.000 meter ini memang termasuk dalam salah satu dari sedikit desa yang dihuni masyarakat Suku Tengger. Legenda melantun, Suku Tengger merupakan keturunan Roro Anteng, putri pembesar Kerajaan Majapahit, dan Joko Seger yang merupakan putra dari seorang brahmana. Roro Anteng dan Joko Seger kemudian menikah dan mereka turut menjadi penghuni di Pegunungan Tengger.

"Sarung adalah warisan leluhur. Kami menirukan apa yang mereka lakukan. Sebagai bentuk penghormatan. Seiring waktu sarung seperti salah satu bentuk kebanggaan sebagai Suku Tengger. Bahkan, harga diri pun jadi taruhannya," kata Budiyanto.

Dalam tradisi tersebut, memakai sarung memiliki cara dan kegunaan yang berbeda saat mengenakannya. Jika sarung menutupi punggung, maka ia sedang bekerja di ladang. Cara ini diterapkan agar pengguna bisa bebas bergerak untuk mengambil air atau mencangkul. Namun jika pekerjaan yang dijalani membutuhkan keberanian seperti bekerja menjaga keamanan desa atau keluarga, maka sarung harus diikat di pinggang.

Sementara jika bepergian, biasanya sarung digunakan dengan cara disampirkan di pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara ini dikenal dengan sebutan Sengkletan. Berbeda halnya jika sarung digunakan untuk bertamu maka penggunaan sarung harus lebih rapi yakni dipakai secara utuh hingga ke bagian pinggang.

"Ada juga sarung untuk waktu santai. Ini biasanya penggunaan sarung dengan cara disampirkan di bagian atas punggung sementara kedua bagian lubangnya dimasukkan pada ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangan," jelas Budiyanto.

Saat malam tiba dan cuaca dingin mulai menggigit, kebanyakan warga memilih mengenakan sarung menutupi seluruh tubuh hingga yang terlihat hanya mata. Tak hanya sebagai adat, sarung juga berfungsi untuk melindungi diri dari kabut yang turun ke punggung.

"Sarung sangat berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Mengingat leluhur kala itu belum mengenal jaket," tutur Budiyanto.

Pemakaian sarung oleh kaum pria dan wanita berbeda sekali. Kaum pria memakai dengan cara dibuka dan dimasukkan lewat atas kepala lalu diselempangkan di badan. Sementara wanita harus menyatukan atau mengikatkan salah satu ujung bawah dan atas, lalu dikalungkan di leher sehingga terjuntai ke belakang. Tujuannya selain untuk melindungi badan dari terik dan dinginnya cuaca juga untuk melindungi bayi yang digendong di punggung, bukan pinggang.

Simpul yang mengikat sarung juga memiliki makna. Bahkan simpul sarung menjadi penanda status untuk perempuan Suku Tengger. Ada yang menandakan perempuan lajang, menikah, juga janda.

"Perempuan ada seperti digunakan di kiri dan kanan bahu. Ada biasa dipakai perempuan yang sudah berkeluarga. Ada yang simpul di kanan, dipakai perempuan yang belum menikah tapi sudah pacar," kata Budiyanto.

Nilai-nilai luhur dari leluhur memang sepantasnya dilestarikan. Masyarakat Suku Tengger merupakan satu dari sekian suku di Indonesia yang masih menjaga agar generasi mendatang tidak tercerabut akar budayanya. Oleh sebab itu, jika ada seorang Suku Tengger tak menggunakan sarung maka akan menjadi bahan pergunjingan.

Meski kini penggunaan sarung tidak terlalu ketat seperti dulu, masyarakat masih memegang teguh tradisi yang diwariskan leluhur. Bagi mereka, ini soal hal yang pantas dan tidak dilakukan.

"Untuk menjaga tradisi, adat bikin peraturan yang tak tertulis kalau ada acara adat itu wajib pakai ikat kepala dan sarung. Kami tidak mewajibkan dalam keseharian, namun mereka akan diperbincangkan. Berbeda cerita bila warga sedang berada di luar wilayah Tengger, dan tidak memakai sarung. Itu bisa dimaklumi," kata Budiyanto.

Menurut Budiyanto, tradisi sarungan di Desa Argosari masih cukup fleksibel. Di desa lain, bila seseorang tidak mengenakan sarung ada anggapan mereka terkena sejumlah mara- bahaya. Kepatuhan terhadap ajaran leluhur bakal membuat hidup jadi lebih tenang dan tentram.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun