Menurut kedua peneliti tersebut, menganalisis bulu-bulu burung ini ibarat menangani percetakan koran. Jelaga di bulu burung-burung tersebut sulit untuk disingkirkan, dan sarung tangan yang digunakan para peneliti untuk memegang bangkai-bangkai burung itu penuh dengan noda hitam.
Meski demikian, jelaga dan noda tersebut telah memberikan data penting yang memungkinkan kita mengetahui kaitan antara tingkat karbon hitam dan data sejarah tentang regulasi lingkungan hidup atau konsumsi bahan bakar.
Misalnya, selama Depresi Besar yang menghancurkan perekonomian global pada 1930-an, merosotnya konsumsi batu bara membuat jejak jelaga pada bulu burung dari era tersebut lebih sedikit.
Namun, saat kemudian terjadi ekspansi ekonomi besar-besaran pasca Perang Dunia II, bulu burung dari masa itu kembali menggelap.
Meski burung-burung ini menghadirkan catatan sejarah yang tak biasa, jangan anggap mereka sebagai peninggalan masa lalu belaka.
Materi partikulat, meski tidak lagi terlalu lazim di AS, masih dihasilkan sebagai emisi dan dapat memperburuk kondisi kesehatan seperti asma dan penyakit paru, tandas American Lung Association.
"Kita tahu bahwa karbon hitam adalah agen kuat dari perubahan iklim, dan pada pergantian abad, tingkat karbon hitam jauh lebih buruk dari yang diduga sebelumnya," DuBay mengingatkan.
Oleh karena itu, DuBay berharap hasil penelitian ini dapat membantu ilmuwan iklim dan atmosfer untuk memahami lebih baik dampak dari karbon hitam pada iklim.
Meski sebagian besar karbon hitam berasal dari negara berkembang, sebesar 0,51 juta metrik ton dihasilkan di AS pada 2011, ungkap Arctic Council. Kontribusi terbesar dibuat oleh sektor transportasi, dan ada pula "sumbangan" dari pembangkit energi batu bara.
"Bulu burung dari masa lalu ini menunjukkan titik balik ketika kita menjauh dari pembakaran batu bara kotor. Saat ini, kita berada pada momen penting serupa dengan bahan bakar fosil," tandas DuBay.