Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tergelincir karena Tidak Sabar

18 Oktober 2017   10:25 Diperbarui: 18 Oktober 2017   13:12 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang namanya sabar, gampang diucapkan tetapi ternyata sangat susah melakoninya. Dalam kaitan sabar, Soetjipto Wirosardjono, seorang penulis kolom yang handal, menulis bahwa di zaman kakeknya, persepsi tentang keadilan sosial datang dari langit, karena itu, sekiranya kaki kakeknya tanpa sengaja diinjak orang, ia hanya membisu, seraya meneteskan air mata: "Duh Gusti .... nasib!". Keluhannya hanya dalam batin saja. "Tetapi zaman ayahnya, sang ayah sudah berkata dan mempersilakan kaki yang menginjaknya itu untuk diangkat sambil berkata: "Nuwun sewu .... suku (kaki)", serunya sambil menunjuk dengan jempol tangan. 

Pada masa dia, seandainya kakinya diinjak orang, ia sudah akan berani berseru: Pak, sekiranya berkenan, bolehkah kaki saya dibebaskan dari beban injakan kaki Bapak? Kendatipun Soetjipto Wirosardjono, dalang intelek itu, senang membuat parodi tentang budaya Jawa, tetapi dalam berbagai tulisannya yang terkadang jenaka, tersirat bahwa ia mengakui budaya nenek moyangnya itu adalah budaya adiluhung.

Dalam buku berjudul "Mukjizat Sabar" yang ditulis seorang Doktor Muslim di Amerika, Talal Alie Turfe, disitu ditulis bahwa salah satu pilar indra keenam sabar adalah mengalah. Jika manusia sering kali putus asa, malas, cemas, mengalah dan ragu-ragu, maka untuk menjadi manusia yang berkarakter sempurna, manusia membutuhkan sebuah sifat yang dapat meneguhkan dirinya.

Ternyata, sabar itu memang tidak gampang. Enak disebut tetapi susah melakoninya. Menurut Talal, sabar adalah sebuah "indra tersembunyi", sebuah indra tambahan selain lima indra yang selama ini kita kenal. Sabar adalah indra ke enam pada diri seorang manusia. Jika manusia sering kali putus asa, malas, cemas, mengalah dan ragu-ragu, maka untuk menjadi manusia yang berkarakter sempurna, manusia membutuhkan sebuah sifat yang dapat meneguhkan dirinya, di sinilah menurut Talal, diperlukan indra ke enam yang bernama sabar itu.

Hanya membaca untaian bait ini, saya sudah bisa menerka bahwa saya belum memiliki indra ke enam itu.

Sabar itu adalah pusara ketenangan, demikian tulis Talal. Melalui kesabaran, seseorang akan meraih keutamaan sifat berani, memaafkan orang lain, murah hati, zuhud, dan lain-lain.

Tergelincir karena tidak sabar

Banyak orang tergelincir karena tidak sabar. Menurut Dahlan Iskan, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehari setelah pelantikannya, membuat pernyataan sederhana yang menarik kepada wartawan. Kurang lebih Dahlan mengatakan, bahwa kemunduran BUMN selama ini, karena friksi dan direksi. Mereka tidak mau menunggu kenaikan jabatan yang alamiah sesuai penjenjangan, tetapi dengan "potong kompas". Mereka selalu cemas, karena masa jabatan mereka yang singkat dan rawan, dalam sekejap bisa menguap. Karena bawahan yang ada di bawah juga sudah mengintip, siap menyergap, kapan mereka mendapat giliran.

Hanya karena tidak sanggup berlaku sabar itulah, ratusan kepala daerah/walikota yang mendekam dalam lembaga pemasyarakatan atau berstatus sebagai tersangka. Tidak terbilang pejabat tinggi negara dan anggota legislatif dari tingkat pusat dan daerah, juga menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan karena tidak sanggup menahan sabar.

Padahal mereka lupa, mereka sedang memikul amanah, mereka sedang berjihad mengentaskan ratusan juta rakyat untuk mencapai kesejahteraan. Mereka sedang berjihad - menurut Talal - untuk melawan egoisme.

Mungkin juga karena jabatan yang tiba-tiba mereka peroleh, adalah jabatan yang memang diperoleh dengan mudah, karena menelikung. Bukan karena kerja keras, karena itu kultur yang mereka bawa dan wariskan adalah kultur menelikung dan terabas. Orang berniat ramai-ramai jadi gubernur, bupati/walikota, bukan karena panggilan untuk melakukan amal saleh. Tetapi bagaimana memenuhi egoisme kebanggaan dan meraih kekayaan. Mereka lupa, - menurut Talal lagi -, tidak ada sesuatu pun yang bisa membalas kebajikan kecuali kebajikan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun