Sebagai contoh PLN membeli batu bara seharga 160 dolar AS per ton maka yang 80 dolar dibayar oleh pemerintah dari tarif ekspor dan sisanya 80 dolar AS dibayar oleh PLN. Jadi secara bersih PLN "hanya" membayar setengah dari harga dunia.
Dengan demikian bila perusahaan tambang mengekspor batu bara ke luar negeri mereka akan rugi sendiri karena harga jual untuk ekspor akan dikurangi tarif ekspor.
Sementara bila di jual di dalam negeri mereka tidak dikenai tarif sehingga hasil penjualan yang didapat lebih tinggi untuk domestik.
Kebijakan ini tentu tidak akan diprotes oleh negara lain karena mereka tetap membeli dengan harga standar internasional atau harga yang telah disepakati oleh negara pembeli dan perusahaan tambang batu bara Indonesia.
Yang akan memprotes kebijakan ini mungkin justru perusahaan tambang batu bara, karena mereka tidak bisa menikmati harga ekspor seratus persen. Sebaliknya bila mereka menjual ke PLN mereka akan menikmati harga domestik (yang sama dengan harga dunia) seratus persen.
Jadi PLN tidak usah memaksa perusahaan tambang batu bara menjual ke mereka, justru perusahaan tambang batu bara yang akan berlomba-lomba menjual ke PLN. Oleh karena itu harus ditetapkan kuota maksimum untuk masing-masing perusahaan tambang batu bara yang ada.
Yang perlu diperhatikan pada saat menetapkan besaran tarif ini adalah tidak boleh merugikan perusahaan tambang batu bara. Sebagai contoh bila harga jual untuk ekspor 160 dolar, biaya produksi 70 dolar, maka tarif maksimal adalah 80 dolar atau 50% dari harga jual.
Jadi yang diterima bersih oleh perusahaan tambang adalah 80 dolar, sedikit lebih tinggi dibanding biaya produksi (Cost of Goods Sales), dengan laba "hanya" 10 dolar per ton.
Besaran tarif ini juga bisa direview secara berkala tergantung dari biaya produksi rata-rata dan harga batu bara di pasar dunia saat itu. Intinya perusahaan harus tetap untung meskipun kecil dan mereka harus menjual ke PLN sebanyak-banyaknya sesuai kuota bila ingin memaksimalkan labanya.
Kebijakan tarif ini lebih efektif dalam mengendalikan tata niaga batu bara di dalam negeri dibanding dengan kebijakan "Domestic Market Obligation/ DMO" yang harus "dipaksa" agar jalan atau dibanding dengan kebijakan penghentian ekspor batu bara yang juga merugikan perusahaan tambang batu bara.