Pertanyaan "Apakah KPAI rentan menjadi alat politik?" bukan sekadar wacana akademis---ini adalah alarm demokrasi yang patut kita bunyikan bersama. Jawaban tegas saya: Ya, sangat rentan. Meski secara hukum KPAI disebut sebagai lembaga independen, dalam praktiknya, independensi itu kerap rapuh ketika berhadapan dengan tarikan kepentingan politik yang masif.
Memahami Fungsi Strategis KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, yang kemudian diperbarui. Mandatnya mulia: melindungi hak-hak anak, memberi masukan pada negara, dan mengawasi implementasi kebijakan perlindungan anak. Tapi mandat ini bisa kehilangan arah bila komisionernya bukan dijalankan oleh mereka yang berintegritas, melainkan oleh mereka yang dititipkan untuk kepentingan kuasa.
Lemahnya Fondasi Indepensi
Ada tiga lubang besar dalam struktur KPAI yang membuatnya rawan disusupi:
- Pemilihan Komisioner oleh DPR
KPAI diklaim sebagai lembaga independen, tetapi komisionernya dipilih oleh DPR---lembaga politik yang tidak steril dari manuver partisan. Ini menciptakan ruang kompromi dan transaksional, baik tersurat maupun tersirat. - Minim Akuntabilitas Publik
Tanpa mekanisme pengawasan independen, publik sulit menilai apakah kebijakan KPAI murni untuk kepentingan anak atau sekadar gema dari suara politik yang berkuasa. - Isu Sensitif, Celah Politisasi
Ketika isu anak bertaut dengan moralitas, pendidikan, agama, atau demonstrasi, KPAI kerap menjadi aktor vokal. Tapi justru di titik-titik itulah, independensinya diuji. Pernyataan yang tak netral, data yang tak lengkap, atau sikap yang tak konsisten, menjadi indikator keberpihakan.
Contoh-Contoh yang Mengundang Kecurigaan Publik
Mari kita tinjau beberapa peristiwa di mana peran KPAI menimbulkan tanya, bukan kejelasan:
- Demonstrasi Tolak Revisi UU Pilkada (Agustus 2024)
Ratusan pelajar dilaporkan ikut aksi. KPAI bersuara keras, menyebut ada mobilisasi anak lewat media sosial dan game online. Namun, siapa yang memobilisasi? Siapa yang mengambil untung? KPAI tidak menyebut. Kesannya gamang. - Putusan MK soal Kampanye di Sekolah (Agustus 2023)
KPAI mengecam keputusan MK. Tapi, di mana KPAI saat pelanggaran di lapangan terjadi? Di banyak daerah, kegiatan politik terselubung justru dilakukan oleh aktor-aktor yang punya kedekatan dengan kekuasaan. - Demo UU Cipta Kerja (2020)
Narasi KPAI kembali sama: anak-anak dimobilisasi oleh pihak tak bertanggung jawab. Tapi apakah KPAI mendorong investigasi tuntas? Atau hanya mengulang kecaman tanpa langkah hukum yang nyata? - Mobilisasi Anak oleh Alumni dalam Demo Pilkada
Ada indikasi anak dimobilisasi lewat media sosial oleh alumni sekolah. KPAI menyatakan sikap, tapi tanpa mengungkap siapa dalangnya. Sikap kritis yang setengah jalan justru menimbulkan prasangka: apakah KPAI menahan diri untuk tidak menyinggung pihak tertentu?
Netral atau Tidak Relevan?
Dalam kasus-kasus tersebut, KPAI tidak sepenuhnya diam. Tapi kehadirannya kerap bersifat selektif. Ketika sebuah isu sejalan dengan arus politik dominan, suara KPAI menggelegar. Namun, saat arus itu menantang kekuasaan, suaranya justru melemah---atau hilang.
Ini bukan sekadar tentang persepsi. Ini tentang kredibilitas.
Solusi: Membongkar dan Membangun Ulang
Jika kita ingin KPAI berdiri di atas pondasi kepercayaan publik, reformasi kelembagaan menjadi mutlak. Bukan hanya tambal sulam prosedural, tapi restrukturisasi yang mengembalikan KPAI ke akarnya sebagai penjaga masa depan bangsa, bukan kepanjangan tangan kekuasaan.
Langkah-langkah konkret yang harus ditempuh:
- Pemilihan Komisioner oleh Panitia Independen, bukan DPR semata. Libatkan akademisi, pegiat HAM, dan masyarakat sipil.
- Audit Publik Berkala atas semua keputusan KPAI.
- Keterbukaan Data: Semua pernyataan harus berbasis bukti, bisa diverifikasi, dan bebas dari jargon politis.
- Sanksi Etik bagi komisioner yang terbukti berpihak atau menyalahgunakan jabatan.
Penutup: Jangan Permainkan hak Asasi Anak
Anak-anak bukan tameng. Bukan alat. Dan bukan ruang kosong untuk propaganda. Ketika lembaga seperti KPAI mulai tergelincir menjadi corong opini kekuasaan atau partai tertentu, maka kita sebagai bangsa sedang mempermainkan masa depan kita sendiri.
KPAI harus dibebaskan dari bayang-bayang politik, atau kita harus bersiap melihat lembaga ini kehilangan legitimasi dan arah. Jika benar ingin melindungi anak, kita harus terlebih dahulu melindungi KPAI dari eksploitasi politik.