Rudi Santoso (Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung)
Dalam sejarah pemikiran politik Islam kontemporer, nama Syed Qutb menempati posisi yang unik dan penting. Ia bukan hanya dikenal sebagai pemikir tajam dan ideolog utama Ikhwanul Muslimin tetapi juga sebagai penggagas utama konsep negara Islam berbasis syariat dalam bentuk yang radikal dan revolusioner. Melalui karya-karyanya yang fenomenal seperti Fi Zhilalil Qur'an dan Ma'alim fi al-Thariq, Qutb memperkenalkan konsep negara Islam sebagai sistem politik ideal yang sepenuhnya tunduk kepada hukum Allah. Tulisan ini akan mengkaji secara komprehensif pemikiran politik Syed Qutb dengan fokus pada ide negara Islam dan penerapan syariat sebagai dasar kekuasaan.
Syed Qutb awalnya dikenal sebagai seorang penulis sastra dan kritikus yang mengagumi nilai-nilai humanisme. Namun pengalaman hidup di Amerika Serikat pada akhir 1940-an mengubah cara pandangnya secara drastis. Ia melihat Barat sebagai masyarakat yang kehilangan nilai spiritual dan terjebak dalam hedonisme serta materialisme. Sepulangnya ke Mesir ia semakin terlibat dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan mulai mengembangkan pemikiran politik Islam yang keras terhadap Barat dan sistem sekuler.
Bagi Qutb akar dari segala krisis umat Islam adalah dominasi sistem jahiliyah modern -- suatu istilah yang ia gunakan untuk menyebut tatanan sosial politik yang tidak tunduk pada hukum Allah. Dalam konteks ini sistem politik sekuler nasionalisme dan demokrasi liberal dianggap sebagai manifestasi dari jahiliyah karena menempatkan manusia sebagai pembuat hukum bukan Tuhan.
Qutb melihat negara Islam bukan sekadar bentuk pemerintahan dengan pemimpin Muslim tetapi sebagai sistem sosial politik yang dibangun di atas tauhid yakni pengesaan Allah secara total termasuk dalam wilayah hukum dan pemerintahan. Tauhid dalam versi Qutb memiliki dimensi sosial politik yang menuntut tatanan masyarakat Islam yang bebas dari pengaruh sistem manusia. Inilah yang ia sebut sebagai hakimiyyah yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak membuat hukum.
Dalam negara Islam ideal menurut Qutb seluruh sistem pemerintahan hukum pendidikan ekonomi dan sosial harus didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Hukum positif buatan manusia dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari kedaulatan Tuhan. Oleh karena itu Qutb menolak keras sistem demokrasi liberal yang memberikan hak kepada manusia untuk menetapkan hukum berdasarkan konsensus atau mayoritas.
Bagi Qutb syariat bukan sekadar seperangkat aturan ibadah tetapi sistem hukum yang komprehensif dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Syariat adalah satu-satunya sumber hukum yang sah dalam negara Islam. Penerapan syariat secara total adalah bentuk ketaatan sejati kepada Allah dan syarat mutlak bagi terbentuknya masyarakat Muslim sejati.
Qutb menolak segala bentuk kompromi yang menempatkan syariat sebagai hanya salah satu sumber hukum. Dalam pandangannya negara yang tidak menjadikan syariat sebagai dasar hukum dan konstitusi adalah negara jahiliyah meskipun pemimpinnya seorang Muslim. Karena itu ia menyebut sistem politik di Mesir saat itu -- yang mengaku Islam namun menerapkan hukum sekuler -- sebagai musuh dalam selimut bagi Islam.
Gagasan ini menimbulkan implikasi serius. Qutb tidak hanya menyerukan penerapan syariat melalui mekanisme konstitusional melainkan melalui revolusi ideologis. Ia menolak pendekatan gradual reformis atau kompromi politik. Bagi Qutb perubahan harus dimulai dari terbentuknya jama'ah Muslimah yaitu komunitas Muslim ideologis yang kemudian menggulingkan sistem jahiliyah dan membangun negara Islam.
Pemikiran Syed Qutb telah menginspirasi banyak gerakan Islam di dunia dari Ikhwanul Muslimin hingga kelompok-kelompok radikal seperti Al-Qaeda. Gagasannya tentang hakimiyyah jahiliyah modern dan revolusi Islam menjadi pondasi bagi ideologi jihad melawan sistem sekuler. Namun di sisi lain pendekatannya yang kaku dan anti-demokrasi memunculkan kritik keras dari banyak kalangan termasuk sesama intelektual Muslim.
Beberapa kritikus menilai Qutb telah menyempitkan makna Islam dengan menekankan aspek hukum dan politik semata. Ia dinilai gagal memahami keragaman masyarakat dan mengabaikan prinsip maqashid syariah yaitu tujuan-tujuan luhur syariat yang mencakup perlindungan jiwa akal harta keturunan dan agama. Dalam konteks masyarakat pluralistik pendekatan Qutb dianggap tidak realistis dan berisiko menimbulkan konflik horizontal.
Meskipun kontroversial pemikiran Qutb tetap relevan dalam diskusi politik Islam kontemporer. Ia menghadirkan tantangan filosofis yang mendalam tentang hubungan antara agama dan negara antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Dalam dunia Muslim yang masih bergulat dengan krisis identitas korupsi dan tirani seruan Qutb untuk kembali kepada syariat dan membangun negara yang adil memiliki daya tarik tersendiri.
Namun tantangan penerapan syariat di era modern tidak bisa disederhanakan. Negara-negara Muslim saat ini menghadapi realitas kompleks seperti keberagaman agama dan etnis perkembangan hak asasi manusia serta sistem internasional yang menuntut keterbukaan. Dalam konteks ini penerapan syariat harus didekati secara kontekstual tidak sekadar melalui teks tetapi juga melalui maqashid atau tujuan serta ijtihad atau penalaran hukum yang relevan dengan zaman.
Beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia mencoba menempatkan syariat dalam ruang publik melalui pendekatan demokratis dan legalistik. Mereka tidak menjadikan syariat sebagai konstitusi tunggal tetapi sebagai sumber nilai dalam perundang-undangan. Pendekatan ini tentu bertentangan dengan visi revolusioner Qutb tetapi lebih realistis dalam konteks negara bangsa modern.
Pemikiran Syed Qutb tentang negara Islam dan penerapan syariat memberikan pelajaran penting bahwa Islam bukan hanya agama spiritual tetapi juga sistem kehidupan yang menuntut keadilan dan kedaulatan hukum ilahi. Namun bentuk negara Islam yang ia tawarkan jika diadopsi secara literal justru berpotensi menyingkirkan prinsip-prinsip demokrasi partisipasi publik dan toleransi.
Yang dibutuhkan umat Islam hari ini bukanlah negara Islam dalam bentuk formalistis tetapi negara yang menjamin nilai-nilai Islam seperti keadilan kejujuran antikorupsi kebebasan beragama dan kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut bisa diinternalisasi melalui pendidikan budaya hukum dan sistem pemerintahan yang terbuka terhadap kritik dan perubahan.
Syed Qutb telah meninggalkan warisan pemikiran politik yang menggugah kesadaran umat Islam tentang pentingnya hukum Tuhan dalam kehidupan bernegara. Meskipun pendekatannya ekstrem dan kontroversial esensinya mengajak kembali pada integritas iman dan moralitas dalam politik. Tantangan kita kini adalah bagaimana mewujudkan cita-cita syariat dalam kerangka negara modern yang plural dan demokratis tanpa kehilangan ruh keislaman dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI