Mohon tunggu...
Rudi Gunawan
Rudi Gunawan Mohon Tunggu... Jurnalis

Penulis kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Berulang, Setelah Isu 'Bjorka Salah Tangkap' Polri Kembali Dituding Gencarkan 'Teroris Tanpa Bukti Visual' untuk Pengalihan Isu

8 Oktober 2025   03:24 Diperbarui: 8 Oktober 2025   06:14 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Tangkap Bjorka dan Terorisme Palsu

JAKARTA, Sorotan publik kembali tertuju pada institusi kepolisian menyusul serangkaian penangkapan kontroversial yang dituding sebagai upaya pengalihan isu dari kasus-kasus besar di tingkat pemerintahan. Kritik keras datang setelah rentetan drama penangkapan yang diduga sebagai peretas 'Bjorka' berakhir antiklimaks dengan pengakuan adanya salah tangkap. Kini, pola yang sama diklaim terulang, kali ini dengan menyasar empat warga sipil di Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) yang dituduh sebagai teroris.

Kegaduhan dimulai setelah akun media sosial yang diklaim milik peretas Bjorka kembali aktif, menyanggah klaim Polri yang sebelumnya mengumumkan telah mengamankan individu yang diyakini sebagai pelaku peretasan data-data sensitif pemerintah. Sempat terjadi tarik ulur narasi, di mana kepolisian kemudian merevisi pernyataan awal mereka dengan mengalihkan fokus penangkapan ke dugaan peretasan data bank, padahal sebelumnya tidak ada pemberitaan mengenai data bank yang bocor.

Kegagalan narasi 'Bjorka tertangkap' yang berpotensi mencederai kredibilitas institusi, kini diduga ditutupi dengan isu keamanan yang lebih mendesak. Dalam waktu singkat, pemberitaan media diwarnai kabar penangkapan empat individu di wilayah Sumut dan Sumbar oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Narasi yang dibangun adalah keberhasilan pencegahan aksi terorisme, namun minimnya detail dan bukti konkret di lapangan menimbulkan kecurigaan.

Keempat warga sipil yang ditangkap tersebut, menurut sumber-sumber yang kritis terhadap langkah Polri, hanya disajikan dalam bentuk narasi berita tanpa disertai bukti visual seperti foto penangkapan atau barang bukti yang jelas, yang biasanya menjadi standar dalam pengungkapan kasus terorisme. Kondisi ini secara substansial melemahkan klaim kepolisian dan membuka ruang spekulasi publik.

Banyak pihak lantas berpendapat bahwa penangkapan yang terkesan buru-buru dan minim transparansi ini adalah sebuah manuver klasik yang dirancang untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang sedang memanas dan berpotensi merugikan pejabat atau lingkaran kekuasaan. Ini adalah pengulangan sejarah di mana isu terorisme kerap muncul ke permukaan saat sorotan publik mulai tajam terhadap dugaan skandal di pemerintahan, apalagi baru-baru ini pertamina ketahuan menyediakan segala jenis BBM yang tidak sesuai kadarnya dan dapat merugikan masyarakat.

Pengamat kebijakan publik, Dr. Haris Purnomo, menyatakan bahwa tren ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan penegakan hukum yang berintegritas. "Jika penangkapan teroris, sebuah isu keamanan nasional yang sangat serius, dijadikan alat untuk kepentingan politik atau pengalihan fokus semata, maka itu merusak kepercayaan publik terhadap institusi keamanan dan mendelegitimasi perjuangan nyata melawan terorisme," tegasnya.

Dampak dari dugaan salah tangkap ini bukan hanya masalah kredibilitas institusi, tetapi juga menyangkut nasib dan hak asasi warga negara yang tidak bersalah. Korban dan keluarganya menghadapi trauma, stigma sosial, dan kerugian material yang besar, semata-mata karena dijadikan 'tumbal' untuk sebuah skenario pengalihan isu.

Meskipun demikian, Juru Bicara Polri dalam konferensi pers sebelumnya selalu menolak tegas tuduhan pengalihan isu ini. Mereka berdalih bahwa operasi Densus 88 adalah murni penegakan hukum yang dilakukan secara profesional berdasarkan hasil penyelidikan intelijen yang mendalam, dan sama sekali tidak terkait dengan dinamika politik atau kasus-kasus lain yang sedang menjadi sorotan.

Namun, desakan publik untuk transparansi dan akuntabilitas semakin menguat. Kasus Bjorka yang berakhir dengan 'salah tangkap' dan kini diikuti oleh penangkapan terduga teroris tanpa bukti visual yang memadai, semakin memperkuat keraguan masyarakat. Publik menuntut agar Polri dapat membedakan antara penegakan hukum yang murni dan manuver untuk menjaga citra atau mengalihkan perhatian dari masalah internal yang lebih besar.

Pada akhirnya, bola panas ini kembali berada di tangan institusi kepolisian. Hanya dengan keterbukaan penuh, audit independen terhadap prosedur penangkapan, dan pemulihan nama baik bagi korban salah tangkap yang tidak bersalah, kepercayaan publik yang terkikis dapat mulai dibangun kembali. Jika tidak, isu terorisme yang seharusnya menyatukan bangsa dalam kewaspadaan justru akan menjadi bahan bakar bagi sinisme dan ketidakpercayaan terhadap negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun