Kabinet Transaksional: Antara Hak Prerogatif Presiden dan Hak Rakyat atas Menteri Kapabel
Kabinet di Indonesia selalu menjadi cermin dari tarik-menarik kepentingan politik. Setiap kali presiden membentuk kabinet, publik sudah bisa menebak siapa yang akan duduk berdasarkan jatah partai atau peran dalam relawan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kabinet bukanlah sepenuhnya tim kerja, melainkan panggung akomodasi kekuasaan. Padahal, rakyat berharap menteri yang dipilih benar-benar ahli di bidangnya. Ketika pragmatisme politik lebih dominan, rakyat terancam hanya menjadi objek. Inilah wajah demokrasi elektoral yang kerap berhenti pada distribusi kursi, bukan kualitas pemerintahan.
Hak prerogatif presiden dalam memilih menteri sering dijadikan alasan final. Namun, hak itu semestinya tidak menutup fakta bahwa rakyat juga memiliki hak yang lebih besar. Rakyat yang memilih presiden tentu berhak mendapatkan kabinet yang kapabel dan profesional. Jika menteri hanya dipilih karena jasa politik, maka kualitas pelayanan publik akan dikorbankan. Sejatinya, hak prerogatif bukanlah lisensi untuk transaksi kekuasaan. Melainkan tanggung jawab besar untuk memastikan kepentingan rakyat tetap diutamakan.
Komposisi kabinet yang berisi ketua partai, pengurus inti, hingga pimpinan tim relawan bukan fenomena baru. Dari masa ke masa, kursi menteri menjadi kompensasi politik atas dukungan dalam pemilu. Fenomena ini memperlihatkan politik balas budi lebih kuat daripada logika meritokrasi. Padahal, menteri adalah jabatan strategis yang menentukan arah kebijakan negara. Ketika jabatan itu dikuasai oleh orang yang tidak kompeten, rakyatlah yang akan merasakan dampak buruknya. Dengan kata lain, kompromi elite justru menyingkirkan kepentingan publik.
Salah satu dampak nyata dari kabinet transaksional adalah munculnya menteri yang tidak sesuai dengan bidangnya. Seorang pengurus partai bisa saja menjadi menteri di sektor teknis yang sama sekali tidak ia kuasai. Kondisi ini membuat birokrasi lebih banyak dikelola oleh para dirjen atau staf ahli, sementara menterinya sibuk dengan kalkulasi politik. Hal semacam ini melemahkan fungsi kepemimpinan kementerian. Kebijakan pun sering kali inkonsisten dan tidak berbasis data yang akurat. Rakyat akhirnya hanya menonton kebijakan coba-coba yang penuh risiko.
Di sisi lain, ada menteri teknokrat yang sesungguhnya kompeten, tetapi jumlahnya minoritas. Para teknokrat ini seringkali harus berkompromi dengan kepentingan politik koleganya di kabinet. Mereka tidak bisa bekerja maksimal karena keputusan besar tetap ditentukan oleh kalkulasi politik koalisi. Situasi ini menimbulkan kontradiksi dalam tubuh pemerintahan. Tekanan partai untuk mempertahankan kepentingan lebih dominan dibanding kepentingan jangka panjang bangsa. Akhirnya, politik jangka pendek mengalahkan visi pembangunan.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru terpinggirkan dalam proses pembentukan kabinet. Seolah-olah kepentingan rakyat hanya muncul di masa kampanye, tetapi hilang setelah kursi kekuasaan terbagi. Inilah yang menimbulkan rasa frustasi di tengah masyarakat. Mereka melihat betapa sulitnya mengharapkan menteri yang benar-benar profesional. Demokrasi akhirnya tampak hanya sebagai alat transaksional elite, bukan instrumen kesejahteraan rakyat. Ketidakpercayaan publik pun semakin besar.
Jika ditarik ke teori politik, sebenarnya ada jalan tengah yang ideal. Kabinet dapat diisi dengan kombinasi antara representasi politik dan teknokrat murni. Dengan begitu, legitimasi politik tetap terjaga, namun kualitas kebijakan juga terjamin. Sayangnya, praktik ini jarang diwujudkan dalam politik Indonesia. Yang terjadi justru ketimpangan, di mana representasi politik mendominasi penuh. Akibatnya, ruang teknokrasi hanya sebatas simbol, bukan kekuatan utama dalam kabinet.
Seharusnya, presiden berani menggeser pola lama dengan mengutamakan meritokrasi. Publik tentu akan memberi apresiasi jika kabinet diisi oleh orang-orang berkompeten. Selain menjaga stabilitas politik, presiden juga perlu menjaga stabilitas kinerja melalui teknokrat. Dengan begitu, rakyat akan merasakan manfaat nyata dari kepemimpinan yang visioner. Kabinet yang kapabel akan melahirkan kebijakan yang konsisten dan berorientasi jangka panjang. Reformasi politik kabinet seharusnya dimulai dari keberanian mengambil keputusan yang berbeda.
Reshuffle kabinet di Indonesia kerap menjadi momen krusial yang mengganggu keseimbangan koalisi. Pergantian menteri tidak hanya soal evaluasi kinerja, melainkan juga soal pergeseran kekuatan politik di parlemen. Partai yang kehilangan kursi menteri biasanya merasa dikurangi pengaruhnya dalam pemerintahan. Sebaliknya, partai yang mendapat jatah baru akan semakin kuat dalam menentukan arah kebijakan. Situasi ini sering menimbulkan gejolak internal dan mengurangi fokus pada kerja-kerja pemerintahan. Reshuffle yang seharusnya menjadi instrumen perbaikan kinerja justru berubah menjadi ajang negosiasi ulang kekuasaan.
Kabinet yang bersifat transaksional memberi dampak langsung pada kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi menjadi dangkal karena rakyat hanya dilibatkan pada tahap pemilu, sementara setelah itu ruang kendali publik terhadap kabinet nyaris tertutup. Mekanisme akuntabilitas melemah ketika menteri lebih loyal pada partai atau presiden daripada rakyat. Kebijakan yang lahir pun cenderung mengutamakan stabilitas koalisi, bukan keberpihakan pada masyarakat luas. Hal ini membuat demokrasi kehilangan substansinya sebagai sarana menyejahterakan rakyat. Pada akhirnya, kabinet transaksional justru memperkuat oligarki politik dan melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi.