Ojol: Harapan dan Tantangan Rakyat Kecil di Tengah Himpitan Ekonomi
Di tengah riuh demonstrasi Agustus 2025, ketika jalan-jalan ibu kota bergetar oleh tuntutan rakyat, sosok pengemudi ojol muda bernama Affan Kurniawan mendadak menjadi simbol getir yang viral di layar ponsel jutaan orang. Video detik-detik tragis, saat sebuah kendaraan taktis Brimob melindas tubuhnya di dekat Gedung DPR, menyulut kemarahan publik dan menyalakan tagar #PolisiPembunuhRakyat hingga menduduki trending topic. Affan bukan sekadar angka korban, ia adalah wajah dari rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada aplikasi dan sepeda motor, mencari sesuap nasi di tengah kota yang gaduh. Dari tragedi itu, profesi ojol tak lagi dipandang sebagai pekerjaan sunyi di pinggir jalan, melainkan sebagai simbol perjuangan hidup yang rapuh namun nyata. Dan dari kisah Affan, kita dituntun untuk melihat lebih dekat: apa arti sesungguhnya menjadi pengemudi ojol, di antara harapan kerasnya hidup dan ketidakpastian yang terus mengintai.
Di pagi yang masih basah oleh embun, ribuan bahkan jutaan pengemudi ojol di tanah air menyalakan motor mereka dengan hati yang penuh doa. Suara mesin bukan hanya tanda dimulainya perjalanan, tetapi juga detak harapan untuk membawa pulang rezeki. Motor yang mereka tunggangi adalah rumah bagi ribuan cerita, tentang perjuangan, ketabahan, dan keberanian menghadapi jalanan yang tak pernah ramah. Setiap order yang masuk bagai secercah cahaya kecil yang mampu menyalakan dapur keluarga. Di tengah keterbatasan lapangan kerja formal, ojol menjadi pintu keluar bagi mereka yang terpinggirkan. Tidak ada ijazah tinggi atau koneksi besar yang dibutuhkan, hanya keberanian, sebuah ponsel, dan keyakinan bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin. Namun, di balik doa itu, ketidakpastian selalu hadir, menunggu di balik setiap tikungan jalan.
Pendapatan harian mereka ibarat napas yang menahan tubuh dari kelaparan. Hari ramai bisa memberi limpahan, tapi hari sepi menuntut mereka menerima lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Persaingan antar-driver menajamkan setiap order menjadi harta yang harus diperjuangkan. Bensin, perawatan motor, paket data ponsel, semua menggerus penghasilan bersih yang sudah tipis. Tidak ada asuransi, tidak ada pensiun, hanya keringat sendiri yang bisa diandalkan. Setiap rupiah adalah hasil dari perjuangan melawan kerasnya jalanan. Ojol memberi mereka bertahan hidup, tapi masa depan tetap tak menentu.
Hujan deras, terik matahari, jalanan licin, semua menjadi lawan yang harus dihadapi tanpa keluhan. Jas hujan yang basah, tangan yang kaku menahan setang, debu yang menempel di wajah, mereka tetap melaju, menyeimbangkan kecepatan dan keselamatan demi order yang cukup. Cuaca bukan sekadar kondisi alam, tapi medan perang setiap hari. Hidup mereka adalah simfoni keberanian dan ketekunan yang terus bergema, tiada henti.
Setiap putaran roda adalah taruhan nyawa. Lalu lintas padat, truk besar, pengendara sembrono, ancaman nyata yang mengintai. Tekanan waktu kadang memaksa mereka mengambil jalan berbahaya. Jika kecelakaan terjadi, biaya pengobatan dan perbaikan motor harus ditanggung sendiri. Tak ada jaring pengaman sosial yang menunggu di sana. Ketakutan dan kewaspadaan menjadi teman yang setia. Meski begitu, mereka tetap melaju, karena pekerjaan ini adalah sandaran hidup yang tak bisa ditinggalkan.
Banyak dari mereka masih mencicil motor, menambah beban yang tak terlihat tapi selalu menghantui. Pendapatan hari ini harus cukup untuk cicilan, bensin, dan kebutuhan pokok. Hari sepi order memaksa mereka memilih antara hidup atau kewajiban cicilan. Risiko kecelakaan bisa meruntuhkan segala usaha yang dibangun. Tekanan mental tak jarang membuat mereka terjaga hingga larut malam, memikirkan hari esok yang tak pasti. Hidup sebagai pengemudi ojol adalah tarian antara keberanian, ketekunan, dan kewaspadaan yang terus berulang.
Meski penuh risiko, ojol tetap memberi harapan nyata. Ia menjadi jaring pengaman ketika pekerjaan formal tak tersedia. Fleksibilitas waktu memberi kesempatan menyesuaikan pekerjaan dengan kebutuhan keluarga. Penghasilan tunai setiap hari memberi kendali langsung terhadap hidup sendiri. Ojol memberi ruang untuk merasa mandiri, tak tergantung pada belas kasih orang lain. Di jalanan padat, setiap sen yang diperoleh adalah simbol kemandirian dan kerja keras. Harapan ini membuat mereka bangkit setiap pagi, meski tantangan menunggu di depan mata.
Namun, masa depan tetap kabur. Penghasilan yang hanya cukup untuk hari ini membuat perencanaan jangka panjang hampir mustahil. Pendidikan anak, tabungan, atau investasi seringkali hanyalah mimpi. Setiap keputusan harus menimbang kebutuhan mendesak. Ketergantungan pada algoritma aplikasi menambah ketidakpastian. Hidup sehari-hari menjadi perjuangan agar esok tetap bisa makan. Ketidakpastian ini adalah pahitnya kenyataan yang harus diterima dengan sabar.
Di balik hiruk-pikuk jalanan dan risiko, kehidupan ojol penuh dinamika sosial. Mereka bertemu penumpang ramah, kasar, atau apatis. Setiap interaksi mengasah kesabaran dan empati. Komunitas pengemudi saling memberi tips, dukungan, dan cerita pengalaman. Solidaritas menjadi harta tak terlihat yang menguatkan mereka. Kehidupan ojol adalah latihan mental sekaligus pengasahan karakter. Dinamika ini membentuk sosok pekerja keras yang realistis.
Fleksibilitas dan kemandirian memberi kebebasan, namun menuntut disiplin tinggi. Mereka menentukan sendiri kapan berhenti, kapan bekerja lebih lama demi penghasilan cukup. Banyak yang bekerja lebih dari delapan jam sehari, menanggung beban keluarga. Semua ini dilakukan sambil tetap waspada terhadap risiko jalan, cuaca, dan kecelakaan. Beban ini menuntut keseimbangan fisik, mental, dan emosional. Setiap hari adalah perjuangan baru, tanpa janji bahwa hari berikutnya lebih mudah. Hidup ojol adalah kisah ketekunan di tengah ketidakpastian.