Pertimbangan Hukum Adalah Roh Putusan Hakim
"Kita hidup di negara hukum, bukan negara kekuasaan", kalimat ini sering kita dengar. Tapi apakah benar begitu kenyataannya?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa wakil menteri (wamen) tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, baru-baru ini menuai kontroversi. Bukan karena substansinya keliru, melainkan karena pernyataan seorang pejabat tinggi negara yang secara terang menyebut: "Tak ada kewajiban untuk dilaksanakan."
Adalah Ahmad Muzani, Ketua MPR RI, yang menyampaikan pandangan itu. Menurutnya, karena larangan tersebut hanya tercantum dalam bagian pertimbangan hukum, dan bukan dalam amar putusan, maka pemerintah tidak wajib mematuhinya.
Sontak, publik pun terperangah. Sebuah negara hukum tiba-tiba mempertanyakan kekuatan moral dan hukum dari putusan lembaga peradilan konstitusional tertinggi. Di sinilah letak ironi besar itu menganga.
Apa Bedanya Amar dan Pertimbangan?
Dalam praktik hukum, amar putusan memang menjadi bagian yang secara eksplisit mengikat secara hukum. Tapi apakah pertimbangan hukum boleh serta-merta diabaikan?
Tidak sesederhana itu.
Pertimbangan hukum dalam putusan MK bukanlah sekadar catatan pinggir. Ia memuat alasan konstitusional yang menjadi dasar penilaian konstitusi. Tanpa itu, amar putusan akan kehilangan legitimasi logisnya. Bahkan dalam banyak preseden, pertimbangan hukum sering menjadi rujukan normatif bagi pembentukan kebijakan, yurisprudensi, dan interpretasi hukum.
Dengan kata lain, pertimbangan adalah roh konstitusi yang tidak boleh dicampakkan hanya karena tidak tertulis dalam kalimat perintah.
Etika Kekuasaan dan Wibawa Konstitusi