Tuhan Tidak Butuh Like: Mengulas Monetisasi Firman di Media Sosial "
Kami bukan seperti banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah."
(2 Korintus 2:17)
Ayat ini adalah seruan Rasul Paulus yang menggema sangat relevan di era digital saat ini. Dalam konteks zaman modern, "keuntungan dari firman Allah" bukan lagi hanya uang atau barang, tapi juga bisa berarti popularitas, like, follower, bahkan peluang endorsement.
Di tengah derasnya arus digital, iman pun ikut "diviralkan." Banyak konten kreator Kristen muncul di TikTok, YouTube, dan Instagram dengan membagikan pesan-pesan rohani. Sebagian di antaranya sungguh tulus, menjadikan media sosial sebagai mimbar virtual untuk menyebarkan Injil. Namun, tak sedikit pula yang justru menjadikan pesan-pesan suci sebagai umpan algoritma.
Muncullah tren narasi seperti:
"Yang ingin diberkati, silakan like."
"Kalau merasa terberkati, jangan lupa komen 'Amin' dan share ke 7 orang."
Sepintas, kalimat ini terdengar sederhana, bahkan rohani. Tapi jika kita gali lebih dalam, ada persoalan serius di baliknya. Ini bukan lagi ajakan bertobat atau penguatan iman, tapi upaya menyelipkan nilai spiritual demi mengejar interaksi digital.
Dengan kata lain, iman dijadikan alat tukar untuk memperoleh exposure. Dalam sistem digital, setiap like dan share bisa diubah menjadi data, jangkauan pasar, bahkan pendapatan. Di sinilah letak bahayanya, saat kasih Tuhan dan janji keselamatan dijadikan materi promosi pribadi, kita sedang menyaksikan komersialisasi iman secara halus tapi sistemik.
Bukan lagi sekadar "memberitakan firman," tapi "mengelola konten rohani" demi performa algoritma. Bukan lagi soal menggugah hati, melainkan menggugah statistik.
Ketika Injil Dipermainkan Algoritma