d. Reformasi Pedagogi Dosen: Dari Penyampai Materi ke Pembimbing Nalar
Perubahan tidak akan bermakna tanpa pembaruan cara mengajar para dosen. Dosen harus keluar dari peran lama sebagai pusat informasi, dan tumbuh menjadi fasilitator berpikir, pengarah diskusi, dan mentor pembelajaran.
Untuk itu, pelatihan pedagogi tidak boleh bersifat formalistik. Perlu ada investasi besar dalam pelatihan pedagogi kritis, pendekatan reflektif, dan metodologi transformatif, agar dosen bisa menjadi agen perubahan bukan hanya dalam isi kuliah, tapi juga dalam sikap hidup.
Sebagaimana Paulo Freire tekankan, pendidikan sejati adalah praktik kebebasan, bukan proses domestikasi. Dosen dan mahasiswa seharusnya berjalan bersama dalam pencarian makna, bukan dalam hubungan atas-bawah yang menekan dialog.
e  Moralitas Akademik: Keberanian Menolak Nilai Palsu
Lebih dari sekadar sistem, reformasi akademik membutuhkan keberanian moral. Keberanian untuk berkata tidak pada nilai palsu, pada praktik manipulatif, dan pada budaya transaksional yang sudah membudaya. Kita memerlukan dosen yang jujur memberi nilai rendah jika perlu, mahasiswa yang siap belajar sungguh-sungguh tanpa jalan pintas, dan institusi yang rela kehilangan akreditasi tinggi demi integritas.
Karena pada akhirnya, misi sejati pendidikan bukanlah mencetak gelar, melainkan membentuk manusia: merdeka dalam berpikir, terampil dalam bertindak, dan jujur dalam hidup. Inilah titik tolak yang harus dikembalikan, agar universitas bukan sekadar penghasil ijazah, tetapi pembentuk masa depan bangsa.
Penutup: Bangsa yang Tertipu oleh IPK
Kita hidup di tengah banjir gelar, tapi kekeringan mutu. Di mana-mana orang memperkenalkan diri dengan embel-embel akademik, namun sedikit sekali yang benar-benar menunjukkan kedalaman berpikir, integritas bertindak, dan kompetensi bertanggung jawab. Indonesia sedang terjebak dalam fatamorgana akademik, di mana angka IPK dipuja layaknya jimat, padahal di baliknya sering kali tersembunyi keterampilan yang rapuh dan akal sehat yang lemah.
Jika tren ini terus dibiarkan, negeri ini akan dibanjiri oleh sarjana-sarjana administratif, lulusan yang hanya mampu mengisi formulir, bukan menyelesaikan persoalan; yang mampu menghafal teori, tetapi gagap dalam praktik. Kita akan memiliki ribuan orang pintar secara formal, namun miskin kreativitas, keberanian, dan karakter. Itulah tragedi sebuah bangsa yang tertipu oleh IPK.
Inflasi nilai bukan sekadar kesalahan akademik, melainkan indikator kegagalan peradaban berpikir. Ia menandakan bahwa kita lebih sibuk menjaga citra daripada kualitas, lebih mencintai angka daripada makna, lebih menghargai gelar daripada kecakapan. Dan bersamaan dengan itu, deflasi kompetensi adalah bom waktu sosial, karena sarjana tanpa kemampuan hanya akan mempercepat krisis kepercayaan publik terhadap pendidikan, memperbesar pengangguran intelektual, dan memperlebar jurang antara harapan dan kenyataan.