IPK Tinggi, Tapi Nalar Merosot
Fenomena ini harus dibaca sebagai gejala penyakit struktural, bukan sekadar kelemahan teknis. Pendidikan tinggi kita telah digerakkan oleh logika komodifikasi, menjual jasa akademik dalam bentuk angka dan gelar, bukan ilmu dan karakter. Ketika nilai diproduksi tanpa melalui proses intelektual yang jujur, maka lahirlah lulusan yang kosong dalam nalar, namun penuh dalam transkrip.
Sistem seperti ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tapi juga bangsa secara keseluruhan. Karena dalam jangka panjang, negara akan dipenuhi oleh lulusan yang tidak siap berpikir, tidak siap bekerja, dan tidak siap hidup dalam dunia nyata
2. Deflasi Kompetensi: Sarjana Tidak Siap Pakai
Sementara nilai akademik terus mengalami inflasi, kompetensi lulusan justru mengalami deflasi, penurunan kualitas yang sistemik dan mengkhawatirkan. Lulusan perguruan tinggi tampak hebat di atas kertas, tetapi lemah dalam praktik. Gelar "Sarjana" semakin kehilangan makna fungsionalnya dalam dunia nyata.
Survei nasional yang dilakukan Indonesia Career Center Network (ICCN) pada 2022 mencatat bahwa 87% lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap masuk dunia kerja. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah gambaran menyedihkan tentang kegagalan institusi pendidikan tinggi dalam memenuhi janji utamanya: menyiapkan manusia yang siap hidup dan bekerja dalam masyarakat.
Tak hanya itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2023, pengangguran terbuka tertinggi justru berasal dari kalangan sarjana (9,6%), lebih tinggi dibanding lulusan SMA atau SMK. Hal ini mencerminkan mismatch serius antara kurikulum akademik dan kebutuhan riil dunia kerja.
Apa yang Salah? Berikut Titik-titik Kerapuhan Kompetensi:
a. Minimnya Soft Skill dan Kemampuan Problem Solving
Salah satu titik lemah paling mencolok adalah kurangnya penguasaan keterampilan lunak (soft skills)---seperti kerja sama tim, kepemimpinan, adaptasi, hingga manajemen waktu. Sebagian besar lulusan terbiasa mengikuti perintah, bukan memimpin; mampu mengerjakan soal ujian, tapi gagal menghadapi masalah nyata.
Lebih buruk lagi, problem solving---kemampuan paling dasar dalam dunia kerja modern---tidak diajarkan secara serius. Kampus sibuk mengejar akreditasi administratif, tetapi lupa menanamkan keterampilan berpikir reflektif, kritis, dan solutif.