Pendahuluan: Bara di Timur Tengah, Dunia Menahan Napas
Ketegangan antara Israel dan Iran bukan lagi sekadar konflik regional yang dapat diredam lewat jalur diplomatik biasa. Sejak awal tahun 2025, dunia menyaksikan peningkatan dramatis dalam intensitas serangan militer kedua negara: rudal jarak jauh ditembakkan ke kota-kota strategis, serangan drone menyasar infrastruktur vital, dan perang kata-kata yang menyulut ketegangan psikologis publik internasional. Namun yang lebih menggetarkan dunia bukan hanya skala kekerasan yang terjadi, melainkan bayangan keterlibatan dua kekuatan nuklir utama: Amerika Serikat dan Rusia.
Jika kedua negara adidaya itu turun tangan secara langsung, konflik ini bisa berubah menjadi perang global dengan konsekuensi yang jauh melampaui batas-batas geografis Timur Tengah. Dunia bukan saja menghadapi kehancuran fisik, tetapi juga krisis tatanan hukum internasional, runtuhnya sistem ekonomi global, dan potensi kehancuran ekosistem politik yang telah dibangun sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Pakar-pakar keamanan menyebut situasi ini sebagai salah satu momen paling genting sejak krisis misil Kuba tahun 1962. Bahkan, konteks saat ini dianggap jauh lebih tidak terduga, karena konflik melibatkan banyak aktor non-negara, ideologi sektarian, dan persaingan kekuatan besar yang tidak lagi terikat dalam kerangka Perang Dingin yang kaku, tetapi dalam struktur dunia multipolar yang penuh ketidakpastian.
Dr. Richard Haass, mantan Presiden Council on Foreign Relations, mengingatkan bahwa, “Jika AS dan Rusia berseteru langsung dalam konflik Iran–Israel, itu bukan sekadar perang kawasan. Itu adalah ancaman terhadap tatanan dunia pasca-Perang Dunia II.” Ucapan ini bukan sekadar peringatan, melainkan penegasan bahwa kita tengah berada di ujung tanduk sejarah. Dunia menahan napas, menunggu keputusan-keputusan besar yang bisa menentukan apakah kita bergerak menuju rekonsiliasi global atau kehancuran bersama.
Eskalasi Bisa Menuju Perang Dunia III
Peringatan keras datang dari berbagai kalangan ahli hubungan internasional: dunia sedang berada di ambang bencana yang tak lagi bisa dikendalikan jika eskalasi antara Israel dan Iran berkembang menjadi konflik terbuka antara Amerika Serikat dan Rusia. Banyak yang membandingkan situasi ini dengan Krisis Rudal Kuba tahun 1962, momen paling genting dalam sejarah Perang Dingin, namun kali ini dianggap lebih berbahaya. Mengapa? Karena tidak ada garis merah yang disepakati bersama, tidak ada saluran komunikasi krisis yang efektif, dan yang paling mengkhawatirkan: para aktor yang terlibat bergerak berdasarkan kepentingan ideologis, nasionalisme ekstrem, dan emosi kolektif yang menyala-nyala, bukan semata logika strategis.
Rusia telah memperkuat kehadirannya di Suriah, memperluas pengaruh militernya di kawasan melalui pangkalan udara Khmeimim dan pelabuhan Tartus. Iran merupakan mitra strategis Moskow dalam menghadapi tekanan dari NATO dan koalisi Barat. Kehilangan Iran bagi Rusia akan menjadi pukulan geopolitik besar, bukan hanya karena kerjasama pertahanan dan pasokan drone, tetapi juga karena Iran menjadi simpul penting dalam resistensi terhadap dominasi AS di kawasan.
Sementara itu, Amerika Serikat telah secara eksplisit memperkuat dukungannya terhadap Israel, baik secara diplomatik maupun militer. Kapal induk USS Gerald R. Ford telah berlayar ke kawasan Teluk sebagai sinyal kepada Iran dan sekutunya bahwa setiap ancaman terhadap Israel adalah juga ancaman terhadap kepentingan strategis Washington. Di dalam negeri, tekanan politik terhadap Presiden AS untuk menunjukkan kekuatan semakin besar, terutama menjelang pemilihan presiden.
Dalam konteks ini, Profesor Graham Allison dari Harvard University memperingatkan tentang bahaya Thucydides Trap, sebuah fenomena dalam hubungan internasional ketika kekuatan lama (Amerika Serikat) merasa terancam oleh bangkitnya kekuatan pesaing (dalam hal ini bukan hanya China, tapi juga Rusia sebagai kekuatan revansis), sehingga perang menjadi hampir tak terhindarkan. “Sejarah mengajarkan bahwa konflik antara negara besar sering kali meledak bukan karena keputusan tunggal yang disengaja, tetapi karena serangkaian reaksi berantai yang tidak dikendalikan,” ujar Allison.
Dengan berbagai kekuatan militer dalam status siaga tinggi, dan retorika diplomatik yang semakin agresif, dunia sedang berdiri di tepi jurang. Sebuah kesalahan kalkulasi, atau serangan yang disalahartikan, bisa memicu konflik berskala global. Dalam situasi seperti ini, perang dunia bukan lagi konsep yang berada di buku-buku sejarah. Ia menjadi ancaman nyata yang bisa terjadi dalam hitungan hari atau minggu, kecuali ada upaya serius untuk meredam tensi melalui diplomasi dan pengendalian diri strategis.