Ruang Kosong di Dalam Jiwa : Kekosongan Eksistensial dan Undangan Ilahi
Pendahuluan
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang digerakkan oleh prestasi, hiburan tanpa henti, dan arus informasi yang nyaris tak terbendung, ada satu kenyataan yang terus mengintai, diam-diam namun kuat : manusia tetap merasa kosong. Kekosongan ini tidak membeda-bedakan status, jabatan, atau keberhasilan. Ia menampakkan dirinya dalam keheningan malam setelah sorak sorai reda, dalam kesendirian setelah pujian usai, bahkan dalam kemenangan yang ternyata tidak menyembuhkan luka-luka terdalam.
Yang mengejutkan, kehampaan batin ini tidak hanya dialami oleh mereka yang kalah atau terpinggirkan dalam perlombaan dunia, tetapi justru sering dirasakan secara lebih dalam oleh mereka yang telah meraih semuanya, Â kekuasaan, kekayaan, popularitas, bahkan status sebagai "sosok yang berhasil". Namun, setelah semua itu digenggam, manusia masih bertanya dalam diam: "Apa lagi? Mengapa masih ada ruang yang tidak penuh?"
Blaise Pascal, seorang filsuf, matematikawan, dan teolog dari abad ke-17, menyelami misteri ini dan merumuskan sebuah pengamatan yang tajam dan abadi:
"There is a God-shaped vacuum in the heart of each man which cannot be satisfied by any created thing but only by God the Creator, ........"
"Ada sebuah kehampaan berbentuk Allah dalam hati setiap manusia yang tidak dapat dipuaskan oleh hal-hal ciptaan apa pun, melainkan hanya oleh Allah Sang Pencipta ......"
Pernyataan ini, meski tampak sederhana, menyimpan kedalaman filsafat eksistensial dan spiritualitas yang tinggi. Pascal tidak sekadar berbicara tentang rasa tidak puas, melainkan menunjuk pada struktur batiniah manusia itu sendiri, bahwa dalam setiap jiwa, entah ia sadar atau tidak, terdapat sebuah ruang kosong. Namun ini bukan ruang sembarangan: ia adalah ruang berbentuk ilahi, yang hanya bisa dikenali dan diisi oleh Sang Pencipta.
Dengan kata lain, kekosongan ini bukan kesalahan penciptaan, melainkan bagian dari desain surgawi yang disengaja. Seperti lubang kunci yang hanya bisa dibuka oleh satu anak kunci, hati manusia hanya benar-benar menemukan makna dan keutuhan ketika ia diisi oleh kehadiran Allah.
Dan inilah yang menjadi dasar dari seluruh renungan dalam esai ini, sebuah perjalanan menyelami kekosongan itu bukan sebagai kutukan, tetapi sebagai undangan untuk kembali kepada yang Kekal, kepada kebenaran ilahi yang menjadi sumber dan tujuan tertinggi hidup manusia.
Ruang Kosong Itu Adalah Bait Allah
Pemahaman akan kekosongan ini tidak boleh berhenti pada keluhan eksistensial. Ia bukan sekadar rasa sepi atau kehilangan arah, melainkan penanda penting dalam struktur jiwa manusia. Ruang kosong di dalam hati manusia adalah "bait Allah", Â tempat kudus yang telah disiapkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat bersemayam-Nya. Ia bukan kecelakaan dalam rancangan batin, tetapi sengaja diletakkan sebagai undangan ilahi, sebagai kompas rohani yang menunjukkan arah pulang kepada Sumber asal dan tujuan akhir manusia.
Plato pernah mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah bayangan dari dunia ide yang abadi. Dalam pengertian itu, kekosongan yang dirasakan manusia adalah panggilan dari dunia yang lebih tinggi, dari Idea Tertinggi, Sang Yang Esa, Ilahi, yang merupakan sumber segala kebenaran dan kebaikan. Maka, sebagaimana Plato percaya bahwa jiwa manusia rindu kembali ke dunia ide, kita dapat melihat bahwa kekosongan batin itu adalah kerinduan jiwa akan kesempurnaan yang hanya dapat ditemukan dalam Allah.
Namun tidak hanya Plato. Augustinus dari Hippo, filsuf dan bapa Gereja yang besar, menulis dalam Confessiones:
"Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, ya Tuhan, dan hati kami tidak tenang sebelum beristirahat di dalam Engkau."
Ia menyadari bahwa kehausan batin manusia bukan sekadar gejala psikologis, tetapi merupakan realitas spiritual: jiwa yang terus merintih karena terpisah dari Sang Sumber Kehidupan.
Demikian pula Immanuel Kant, meskipun dikenal sebagai filsuf rasional dan moral, mengakui dalam refleksinya bahwa ada batas-batas rasio, dan di balik batas itu, ada ruang untuk yang transendental, sesuatu yang "tidak dapat dibuktikan tetapi harus diasumsikan" demi menjelaskan tatanan moral dan eksistensi manusia. Ruang kosong itu, Â dalam bahasa Kant, Â adalah tempat iman bekerja, tempat hati mencari yang lebih tinggi daripada hukum alam: yakni Tuhan, jiwa, dan keabadian.
Bait Allah dalam diri manusia adalah ruang yang tak bisa dipenuhi oleh materi, prestasi, atau relasi semata. Ketika ruang itu dibiarkan kosong, hidup terasa hampa dan tak bernilai. Kita mengembara tanpa tujuan, sekalipun kita berlari dalam kesibukan. Dan ketika kita mencoba mengisinya dengan hal-hal fana, Â kekayaan yang rapuh, relasi yang toksik, status sosial, atau ambisi tanpa arah, Â maka jiwa kita justru diliputi gejolak, kecemasan, dan penderitaan batin yang tak terdefinisi.
Namun sebaliknya, ketika ruang itu diisi dengan kehadiran Allah, ketika kita membuka diri bagi kasih-Nya, firman-Nya, dan kebenaran kekal-Nya, maka hidup menemukan keseimbangan, arah, dan makna. Kita tidak lagi berpusat pada dunia yang semu, tetapi tertambat pada realitas yang kekal. Dalam bahasa Alkitab, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka" (Pengkhotbah 3:11). Ayat ini menunjukkan bahwa kerinduan akan kekekalan adalah bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia, dan kekosongan itu justru menjadi bukti bahwa kita diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar daripada dunia ini.
Dengan demikian, ruang kosong itu bukan kutukan, tetapi tanda dari rancangan surgawi yang mengagumkan. Sebuah undangan diam-diam, agar kita tidak berhenti mencari sebelum menemukan hadirat Tuhan yang hidup. Ia menanti di bait hati kita, tempat kudus itu, bukan untuk mempersempit hidup, tetapi untuk memenuhi hidup dengan kepenuhan kasih dan kemuliaan yang tidak akan musnah.
Allah yang Menanam Kekekalan dalam Diri Kita
Kitab Pengkhotbah 3:11 memuat pernyataan yang sarat makna, dan tampaknya selaras secara mendalam dengan pengamatan filsuf Blaise Pascal:
 "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka."
Frasa pertama menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam kairos, waktu ilahi yang tidak tergesa namun penuh makna. Tidak ada peristiwa dalam hidup manusia yang luput dari pengetahuan dan maksud Allah. Semuanya akan mencapai keindahannya pada waktu yang tepat menurut takaran surgawi, bukan sekadar menurut kalkulasi manusia.
Namun frasa kedua sungguh mencengangkan: Allah memberikan kekekalan dalam hati manusia. Di tengah kefanaan tubuh dan kerentanan eksistensi, Allah justru menanamkan benih kekekalan, sebuah kapasitas untuk mengenal, menginginkan, dan merindukan sesuatu yang tidak bisa rusak oleh waktu.
Inilah kunci untuk memahami mengapa manusia, betapapun makmurnya hidup secara materi, tetap menyimpan rasa gelisah, kosong, dan haus. Manusia diciptakan bukan hanya untuk hidup di bawah matahari, melainkan juga untuk mengarahkan pandangannya melampaui cakrawala waktu. Ia adalah makhluk duniawi yang ditarik oleh yang adikodrati. Kekosongan dalam hatinya bukanlah tanda kelemahan, melainkan cermin dari kekekalan yang tertanam dalam jiwa.
Kita sering salah memahami kegelisahan batin sebagai gejala penyakit mental atau kegagalan sosial. Padahal, sebagaimana Pascal isyaratkan, "There is a God-shaped vacuum in the heart of each man...", kekosongan itu adalah penunjuk arah, bukan malapetaka. Kegelisahan yang terus menghantui manusia sesungguhnya adalah "nyanyian nostalgia jiwa", gema batiniah yang berseru untuk kembali kepada sumber asalnya. Seperti burung merindukan sarangnya, jiwa manusia rindu akan Sang Kekal karena memang berasal dari-Nya dan diciptakan untuk kembali kepada-Nya.
Pemikiran ini juga didukung oleh banyak filsuf dan teolog besar. Sren Kierkegaard, misalnya, memandang kecemasan bukan sebagai penyakit, tetapi sebagai tanda eksistensial bahwa manusia sadar dirinya memiliki kebebasan, dan dalam kebebasan itu, ia dihadapkan pada panggilan untuk memilih Allah atau kehampaan. C. S. Lewis pun pernah berkata, "Jika saya menemukan dalam diri saya keinginan yang tidak dapat dipuaskan oleh dunia ini, satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah bahwa saya diciptakan untuk dunia lain."
Maka, kekekalan yang Allah tanamkan bukanlah ide abstrak, melainkan struktur terdalam dalam jiwa manusia. Ia adalah panggilan abadi, suara halus dari bait Allah dalam hati kita, yang terus mengingatkan bahwa hanya Sang Kekal yang mampu memuaskan kerinduan terdalam kita.
Ketika manusia sadar bahwa ia mengemban kekekalan dalam kefanaannya, maka ia akan berhenti mengejar pemenuhan semu, dan mulai membuka hatinya bagi kehadiran Allah. Dan di situlah kekosongan itu menemukan maknanya. Ia bukan kehampaan yang mengancam, tetapi ruang sakral tempat Allah sendiri ingin tinggal.
Panggilan Menuju Harmoni Kekal
Plato, filsuf besar Yunani, menyebut bahwa dunia ini hanyalah bayangan dari dunia ide, dunia bentuk sempurna yang abadi. Dalam konteks spiritual, ide tertinggi itu adalah Allah, sumber segala yang benar, baik, dan indah. Maka, kerinduan kita untuk kembali kepada yang kekal sejatinya adalah kerinduan untuk pulang kepada bentuk sempurna keberadaan, kepada Allah sendiri.
Ajaran Plato ini menemukan gema yang kuat dalam Alkitab, terutama dalam Kejadian 2:7, yang menyatakan:
"Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup."
(Kejadian 2:7, TB)
Hembusan nafas hidup dari Allah ini, Â nishmat chayim, Â bukan sekadar udara, tetapi kehidupan yang berasal langsung dari Sang Ilahi. Ini adalah aspek kekal dalam diri manusia, yang mengikat jiwanya kepada sumber hidup yang tak terbatas. Maka, jiwa manusia tidak asing terhadap kekekalan, sebab ia sendiri mengandung unsur itu. Manusia berasal dari Allah dan rindu kembali kepada-Nya. Dengan demikian, keinginan akan makna, kerinduan akan keabadian, dan kegelisahan batin bukanlah cacat dalam penciptaan, melainkan undangan dari Sang Pencipta agar manusia mencari dan menemukan Dia dalam kedalaman dirinya sendiri.
Dengan demikian, kerinduan eksistensial manusia, kekosongan jiwanya, dan kegelisahan hatinya, bukanlah musibah, melainkan panggilan ilahi. Allah sendiri yang menanam kekosongan itu, agar kita belajar mencari Dia dan menghadirkan-Nya kembali dalam "bait kosong" di hati kita.
Kekosongan jiwa manusia hanya dapat dipenuhi melalui persekutuan yang intim dengan Dia. Berikut ayat-ayat Alkitab yang relevan dan mendalam untuk memperkuat benang merah ini:
1. Yohanes 14:6
"Kata Yesus kepadanya: 'Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.'"
Ayat ini menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Sang Kekal, Â tidak ada pengisi lain yang sah dan cukup untuk kekosongan ilahi itu selain Kristus.
2. Yohanes 14:20
"Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu."
Inilah puncak dari relasi spiritual yang paling intim: Yesus tidak hanya menuntun kita kepada Bapa, tetapi juga tinggal di dalam kita, Â memenuhi ruang kosong itu dengan kehadiran-Nya sendiri.
3. Galatia 2:20
"Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku."
Ayat ini memperlihatkan transformasi total: ketika kekosongan itu diisi oleh Kristus, maka hidup kita pun berubah menjadi cerminan-Nya. Kita bukan hanya dipuaskan, tetapi juga dihidupkan kembali secara rohani.
Dengan menyatukan ajaran Pascal, Plato, dan Kitab Suci, kita sampai pada sebuah simpulan yang indah dan kuat:
"Kekosongan itu bukan kehampaan yang menakutkan, tetapi undangan suci. Ia adalah bait yang menanti Sang Pemiliknya, Kristus, Â untuk datang dan tinggal di dalamnya."
Jika Plato menyingkapkan bahwa dunia ini hanyalah bayangan dari realitas sejati, Â dunia ide yang sempurna dan kekal, maka Kitab Suci menunjukkan kepada kita bahwa ide tertinggi itu bukan sekadar bentuk abstrak, melainkan Pribadi yang hidup: Allah sendiri. Kekosongan yang tertanam dalam diri manusia adalah jalan menuju perjumpaan dengan-Nya. Dan puncak dari jalan itu, sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Baru, adalah pribadi Yesus Kristus.
Yesus bukan hanya mengajarkan jalan menuju kebenaran, melainkan Dia adalah Jalan itu sendiri. Bukan hanya menunjukkan kehidupan sejati, melainkan Dia adalah Hidup itu sendiri. Maka, ruang kosong dalam hati manusia baru akan menemukan kepenuhannya saat Sang Ilahi bukan lagi di luar kita, tetapi tinggal di dalam kita, menghidupi kita dari dalam, Â sebagaimana telah dinubuatkan dan ditegaskan oleh-Nya sendiri.
Bait Itu Harus Diisi
Kita hidup di tengah dunia yang gemerlap, yang setiap hari menyodorkan pelarian palsu: kesenangan instan, relasi tanpa kedalaman, pencapaian yang dibangun di atas pencitraan, dan kesuksesan yang menguap dalam sekejap. Dunia terus berbisik, "Isi kekosonganmu dengan ini!" Namun setelah semuanya dicoba dan dijalani, tetap saja terasa sunyi di dalam. Sebab dunia tidak mampu, Â dan memang tidak dimaksudkan , untuk mengisi ruang suci itu.
Bait Allah dalam hati manusia bukan tempat untuk hal-hal fana. Ia kudus dan penuh bobot kekekalan. Maka ketika kita memaksakan berhala duniawi masuk ke dalamnya , entah harta, kuasa, status, atau bahkan cinta manusia yang tak murni, Â jiwa menjadi koyak. Kita merasa lelah tanpa alasan, gelisah tanpa sebab, dan kehilangan arah bahkan saat sedang berada di puncak pencapaian.
Namun, ketika bait itu dibuka dan disucikan kembali untuk dihuni oleh Dia yang menciptakannya, maka hidup pun berubah. Allah, Sang Kekal, hadir bukan sekadar sebagai objek kepercayaan, tetapi sebagai penghuni sejati hati kita. Dia tidak datang untuk menjadi tambahan, melainkan pusat. Dan dari pusat itulah, hidup memancar dengan arah, kekuatan, dan pengharapan, Â bahkan di tengah penderitaan.
Hidup semacam itu bukan utopia. Itu adalah kehidupan yang berdetak dalam irama kekekalan, Â kehidupan yang berakar dalam dan berorientasi ke atas. Dan inilah yang disaksikan oleh para bijak dan orang-orang kudus sepanjang zaman, salah satunya St. Augustine yang menulis dalam pengakuannya:
"You have made us for Yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in You."
Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, ya Tuhan, dan hati kami takkan pernah tenang sampai ia beristirahat dalam Engkau.
Maka kini, pertanyaannya bukan lagi apakah ada ruang kosong itu, tetapi apa, atau siapa, Â yang kita izinkan tinggal di dalamnya?
Sudah waktunya kita membuka kembali pintu bait itu, bukan untuk kesenangan sesaat, tetapi untuk kekekalan yang sejati.
Refleksi Akhir
Maka benarlah kata Pascal dan para filsuf besar: kerinduan terdalam manusia hanya dapat dijawab oleh yang ilahi. Dan benarlah firman Tuhan, bahwa kekekalan telah ditanam dalam diri kita, bukan agar kita binasa dalam ketidakpuasan, melainkan agar kita pulang dan hidup dalam harmoni bersama Dia, yang adalah kasih, terang, dan sumber segala yang sempurna.
Namun lebih dari itu: Allah tidak hanya menanam kerinduan, tetapi juga memberikan jawabannya melalui Roh-Nya yang hidup. Dalam perjanjian yang baru dan kekal, Ia berfirman:
"Aku akan menaruh hukum-Ku dalam hati mereka dan menuliskannya pada akal mereka."
(Ibrani 10:16)
Kekosongan itu bukan hanya untuk diisi dari luar, tetapi untuk diubah dari dalam. Hati manusia menjadi kertas tempat Allah menulis kasih-Nya, dan hidup kita menjadi surat-Nya bagi dunia:
"Kamu adalah surat Kristus ... ditulis dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia."
(2 Korintus 3:3)
Maka ketika kita mengizinkan Allah tinggal dalam bait hati kita, kita tidak hanya kembali ke sumber kekekalan, tetapi menjadi bagian dari pewahyuan-Nya yang hidup. Firman itu tidak hanya kita dengar, tetapi kita hidupi. Dan bait yang kosong itu kini bergema oleh kehadiran-Nya yang kekal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI