Ginjal untuk Cinta yang Diam
Pagi itu langit mendung. Gerimis tipis membasahi halaman Panti Asuhan Kasih Bunda. Seorang gadis muda berdiri ragu di depan pintu besi berkarat. Dalam gendongannya, bayi mungil tertidur pulas, seakan tak tahu bahwa dunia yang menantinya akan sangat berbeda dari pelukan ibu kandungnya.
"Permisi, Bu..." suara Tuti parau, hampir tenggelam oleh suara hujan.
Seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Namanya Bu Yohana, pengasuh utama di panti itu. Wajahnya lembut, tapi pandangannya langsung membaca sesuatu yang berat di raut Tuti.
"Iya, Nak? Kamu mau menitipkan anak ini?"
Tuti mengangguk pelan. Matanya sembab, suaranya nyaris berbisik.
"Ayahnya pergi, Bu. Saya sudah cari dia ke mana-mana... Tapi saya sendiri sekarang. Nggak punya kerja tetap, nggak punya tempat tinggal. Saya takut... anak ini malah sengsara kalau ikut saya."
Bu Yohana menghela napas. Ia tahu betul, ini bukan pertama kali melihat ibu muda dalam kepanikan dan putus asa. Tapi ada ketulusan di wajah Tuti yang tak biasa.
"Sudah dikasih nama, Nak?"
Tuti menggeleng. "Saya... belum tahu harus kasih nama apa. Tapi saya selalu bayangkan dia tumbuh jadi perempuan kuat. Pintar. Dan disayang banyak orang. Kalau boleh... tolong kasih dia nama yang cantik, ya, Bu."
Bu Yohana tersenyum. "Anak ini akan kami rawat sebaik mungkin. Siapa tahu nanti ada keluarga baik yang mengangkatnya jadi anak."
Tuti menatap wajah bayi mungil itu sekali lagi. Ia membelai pipi putrinya yang lembut.
“Maafkan Ibu, Nak... Ibu belum bisa jadi pelindungmu. Tapi Ibu akan selalu mendoakan kamu dari jauh. Selalu.”