Siri’, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sawerigading, bukan sekadar konsep kebanggaan, tetapi menyangkut eksistensi dan martabat sosial. Dalam konteks filsafat moral, siri’ adalah bentuk etika tanggung jawab personal terhadap nilai yang dianut komunitas. Ia mencerminkan apa yang disebut oleh Immanuel Kant sebagai imperatif moral: tindakan karena kewajiban, bukan sekadar hasil.
Sawerigading tidak hanya bertindak untuk dirinya, tapi untuk mempertahankan status moral yang diwariskan. Ia menjadi simbol dari “homo moralis” dalam bingkai etika Bugis: keberanian untuk menjaga kehormatan bahkan ketika itu menuntut pengorbanan eksistensial.
Namun, kritik bisa diajukan: apakah siri’ melulu mendorong tindakan heroik, atau juga menjadi beban yang membelenggu pilihan bebas? Dalam beberapa konteks, siri’ bisa mendorong masyarakat Bugis menolak kompromi, bahkan menolak rekonsiliasi, hanya karena "malu" dianggap lemah. Di sini kita bisa bertanya: di mana batas antara kehormatan dan ego sosial?
Pesse: Etika Empatik yang Menembus Ego
Berbeda dari siri’, pesse adalah panggilan hati yang melembutkan tindakan. Dalam legenda, pesse Sawerigading tidak diarahkan ke orang lain, melainkan ke dirinya sendiri. Ia merasa iba atas penderitaan dan cintanya yang tak sampai , dan ini mendorongnya melakukan pelayaran panjang dan petualangan transformatif.
Dari sudut pandang Emmanuel Levinas, pesse bisa dibaca sebagai perjumpaan dengan wajah-diri, bukan hanya wajah orang lain. Empati terhadap penderitaan diri sendiri adalah bentuk awal kesadaran etis, karena mendorong individu keluar dari keterkungkungan rutinitas dan membuka ruang untuk pilihan-pilihan otentik.
Tetapi, sekali lagi, kita perlu kritis: apakah pesse yang berpusat pada penderitaan diri bukan bentuk narsisme etis? Apakah penderitaan itu memunculkan belas kasih terhadap orang lain, atau justru menegaskan trauma pribadi sebagai pendorong semua tindakan?
Heroisme: Dari Perang ke Pengakuan Luka
Legenda Sawerigading menolak gagasan heroisme maskulin yang semata-mata berperang dan menaklukkan. Ia lebih menonjolkan keberanian untuk menanggung luka batin, mencintai dalam keterlarangan, dan menghadapi kenyataan tanpa kehilangan kendali.
Ini mendekati gagasan "antihero" modern yang muncul dalam sastra barat pasca-perang: tokoh yang tidak selalu menang, tetapi bertahan dengan integritas, sebagaimana tokoh Raskolnikov dalam Crime and Punishment atau Hamlet dalam drama Shakespeare.
Sawerigading tidak mengakhiri penderitaan dengan kematian atau keputusasaan, tapi dengan transendensi simbolik: ia menciptakan makna baru dari luka lama. Di sini, filsafat timur Bugis tentang keberanian lebih holistik daripada heroisme Sparta atau Viking, karena melibatkan aspek batin, bukan cuma fisik.