Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perspektif Filosofis dari Kisah Sawerigading dalam Sastra Bugis Klasik

20 Mei 2025   21:35 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif Filosofis Kisah Sawerigading dalam Sastra Bugis Klasik

1. Pengantar

Kisah Sawerigading, sebagai bagian utama dari epos I La Galigo, bukan sekadar dongeng kuno, melainkan sebuah warisan sastra lisan Bugis yang berasal dari Daerah Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Epos ini tidak hanya menjadi simbol kejayaan masa lalu, tetapi juga mewakili kedalaman filsafat hidup, nilai moral, serta pandangan kosmologis yang membentuk pola pikir dan identitas masyarakat Bugis secara turun-temurun.

Sawerigading adalah tokoh sentral dalam epos tersebut, yang kisah hidupnya menjadi cerminan pergulatan manusia dengan takdir, cinta terlarang, kehormatan, dan kodrat ilahi. Legenda ini juga merefleksikan hubungan antara manusia dan alam semesta dalam pandangan kosmologi Bugis, sekaligus menggambarkan perjalanan spiritual dan eksistensial yang kompleks.

Sebagai bukti penghormatan atas tokoh mitologis ini, nama Sawerigading kini diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah (RSUD Sawerigading) di Kota Palopo, yang merupakan bagian dari wilayah bekas Kerajaan Luwu. Ini menunjukkan bahwa memori kolektif masyarakat Luwu terhadap tokoh ini tetap hidup, tidak hanya dalam narasi sastra dan budaya, tetapi juga dalam struktur sosial dan institusi modern.

Dalam kajian filsafat sastra, legenda ini mengandung nilai-nilai yang dapat ditafsirkan sebagai representasi arketipe manusia Bugis, yang berjuang menemukan jati diri di tengah benturan antara nilai-nilai ilahi dan realitas duniawi.

2. Filsafat Kosmologi: Tiga Dunia dalam Harmoni

Masyarakat Bugis kuno memiliki struktur kosmologi tiga tingkat, yang secara konseptual dan filosofis menunjukkan hubungan vertikal antara manusia, alam semesta, dan kekuatan ilahi. Tiga dunia ini dijelaskan secara konsisten dalam naskah I La Galigo, sebagai berikut:

1. Botting Langi’ (Dunia Atas)
Dunia para dewata dan leluhur surgawi. Di sinilah Batara Guru, ayah dari Sawerigading, berasal, menandai asal-usul ilahi bangsawan Bugis. Tempat ini juga melambangkan kesucian, keteraturan, dan sumber hukum kosmis.

2. Ale Kawa (Dunia Tengah)
Dunia tempat manusia hidup, beraktivitas, dan membangun peradaban. Dunia ini adalah panggung utama pergulatan antara hasrat dan moralitas.

3. Peretiwi (Dunia Bawah)
Dunia roh, kekuatan bawah tanah, dan unsur-unsur yang tidak kasat mata. Dunia ini sering diasosiasikan dengan kekuatan mistik dan misteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun