Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elegi Setumpuk Buku Tua : Renungan pada Hari Buku Se-Dunia

23 April 2025   15:00 Diperbarui: 23 April 2025   15:00 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Pngtree)

Elegi Setumpuk Buku Tua : Renungan pada Hari Buku Se-Dunia


Dulu kau rumah pertama bagi jiwa-jiwa yang lapar akan makna. Di antara halamanmu, manusia menemukan jawaban atas tanya-tanya yang tak terucap. Kau bimbing anak-anak bangsa menapaki jalan pemikiran yang panjang dan terjal. Kini kau tinggal dekorasi ruang tamu yang tak pernah disentuh. Orang-orang lebih terpikat pada layar yang menyala daripada halaman yang diam. Pengetahuan diburu instan, disesap cepat, lalu dilupakan. Kau ditinggal oleh generasi yang percaya bahwa kecepatan lebih penting daripada kedalaman. Kau yang dahulu agung, kini dipinggirkan oleh zaman yang mabuk akan visual.

Dulu kau adalah perahu menuju samudra kebijaksanaan. Dari kata ke kata, orang belajar memahami hakikat, menimbang benar dan salah, menelusuri batas antara fakta dan keyakinan. Dalam kesunyian membaca, manusia bertemu dirinya sendiri. Kini kau tinggal benda tua di perpustakaan berdebu, dijauhi seolah menyimpan kutukan. Tak ada lagi ritus membaca sebagai bentuk pencarian makna. Buku dianggap lambat, berat, dan membosankan. Padahal di situlah tempat pertarungan ide, benturan nilai, dan ruang lahirnya peradaban. Tapi manusia modern lebih tertarik pada sorotan algoritma daripada bisikan kebenaran.

Dulu kau membuka dunia tanpa harus pergi. Kau antar pembaca ke Mesir kuno, ke Yunani, ke kamp konsentrasi, ke ruang pengadilan, hingga ke relung hati manusia. Dalam diam, kau menelanjangi kekuasaan, mempertanyakan ketidakadilan, dan menyalakan nyala pembebasan. Kini kau tinggal kenangan pada masa kecil yang dilupakan saat dewasa. Orang-orang lebih memilih hiburan daripada perenungan. Kata-kata digantikan oleh klip pendek dan jargon viral. Pikiran tidak lagi dirajut dalam paragraf panjang, tapi dipotong dalam potongan yang mudah dicerna dan dibuang. Kau dibungkam bukan karena tak lagi relevan, tapi karena terlalu berbahaya bagi kebodohan yang dibela.

Dulu kau membuat manusia sadar akan keterbatasannya. Kau ajari bahwa mengetahui adalah perjalanan panjang yang menuntut kerendahan hati. Kau bongkar keangkuhan dogma dan kekakuan sistem. Kini kau tinggal simbol romantik bagi para pengarsip nostalgia. Orang-orang membanggakan rak buku, tapi tak lagi membaca isinya. Penulis menjadi selebritas, tapi bukan pembebas pikiran. Buku dijadikan barang dagangan, bukan alat emansipasi. Pasar telah mencuri ruhmu dan menjualmu sebagai komoditas.

Dulu kau menjadi sahabat bagi para pemberontak sunyi. Mereka yang tidak puas pada tatanan yang beku, yang bertanya lebih dalam dari sekadar "apa" dan "siapa," menemukan tempat dalam dekapmu. Kau bangunkan kesadaran kritis, kau tajamkan nalar, kau kobarkan keberanian. Kini kau tinggal tumpukan di rak diskon toko buku yang hampir bangkrut. Tak ada lagi gairah melawan kebodohan lewat pemikiran. Penguasa tak lagi takut pada buku, sebab rakyat sudah tak mau membacanya. Pengetahuan dikerdilkan menjadi opini singkat. Dalam masyarakat yang malas berpikir, buku kehilangan kekuatannya.

Dulu kau memberi waktu untuk merenung dan membentuk pendirian. Kau tak pernah memaksa, tapi selalu menggoda untuk menggali lebih dalam. Kau memberi jeda dalam dunia yang serba cepat, dan justru di situlah letak kekuatanmu. Kini kau tinggal bayang-bayang di etalase yang jarang dilirik. Kita telah kehilangan seni membaca perlahan. Orang tak lagi mencari kebenaran, cukup validasi. Pikiran dikaburkan oleh kebisingan digital. Dalam keramaian, kau menjadi sunyi yang tak lagi didengar.

Dulu kau adalah warisan para nabi, filsuf, dan penyair. Kau jadi wadah wahyu, sarana logika, dan tempat jiwa menyanyikan kerinduannya. Kau tak hanya memberi informasi, tapi menanamkan nilai dan merangsang kebajikan. Kini kau tinggal mitos di tengah generasi yang mewarisi layar, bukan lembaran. Buku tak lagi ditulis untuk mengubah, tapi untuk dilike dan dijual cepat. Kaum intelektual disulap menjadi influencer. Kata-kata kehilangan bobotnya ketika dijadikan konten. Dan di tengah semua itu, buku menangis, bukan karena usang, tapi karena dilupakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun