Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Ajaran Thomas More "Utopia"

30 November 2024   00:01 Diperbarui: 30 November 2024   00:01 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thomas More (Wiki Quote)

Latar Belakang Thomas More

Thomas More (1478--1535) adalah seorang negarawan, filsuf, dan humanis Inggris yang hidup pada masa Renaisans. Ia menjabat sebagai penasihat Raja Henry VIII, tetapi kemudian dihukum mati karena menentang kebijakan raja yang ingin memutus hubungan dengan Gereja Katolik Roma.
Sebagai seorang humanis, More sangat dipengaruhi oleh pemikiran klasik, seperti karya Plato dan filsuf Kristen seperti St. Augustine. Utopia merupakan karya yang mencerminkan pandangannya tentang kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan korupsi pada zamannya.

Latar Belakang Lahirnya Utopia

Ditulis pada tahun 1516, Utopia muncul sebagai tanggapan atas kondisi Eropa abad ke-16 yang penuh dengan konflik politik, ketimpangan sosial, dan eksploitasi ekonomi.

Pada masa itu, feodalisme menciptakan jurang besar antara kaum bangsawan kaya dan petani miskin. Reformasi Gereja sedang berlangsung, yang memunculkan pertanyaan tentang keadilan dan moralitas di masyarakat.

More menggunakan Utopia untuk menawarkan gambaran alternatif tentang masyarakat yang adil, meskipun ia menyadari bahwa gagasan ini tidak sepenuhnya praktis.

Tujuan utama karya ini adalah:

1. Kritik terhadap realitas sosial dan politik Eropa.
More ingin menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial adalah hasil dari keserakahan dan sistem yang tidak adil.

2. Menyampaikan gagasan humanis.
Ia percaya bahwa manusia memiliki potensi untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik melalui akal budi dan kerja sama.

Utopia karya Thomas More adalah sebuah karya sastra yang mengandung unsur satire politik. Buku ini menggambarkan sebuah pulau fiksi bernama "Utopia," yang diidealkan sebagai tempat  masyarakat sempurna, di mana segala bentuk ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan korupsi tidak ada. Namun, karya ini sebenarnya merupakan kritik terselubung terhadap kondisi sosial, politik, dan agama di Eropa, khususnya Inggris, pada awal abad ke-16.

Karya Utopia karya Thomas More ditulis dalam bentuk dialog dan narasi, Berikut adalah struktur penulisannya:

Thomas More menulis surat dedikasi kepada Peter Gilles, seorang teman dekatnya, dan menggambarkan bahwa buku ini terinspirasi dari percakapan dengan Raphael Hythloday, seorang pelaut yang menceritakan pengalamannya di suatu pulau yang bernama  Utopia.

Kata Utopia berasal dari bahasa yunani yang berarti "tempat yang tidak ada",  Judul asli buku ini adalah dalam bahasa Latin:
 "Libellus vere aureus, nec minus salutaris quam festivus, de optimo reipublicae statu deque nova insula Utopia"
Yang dapat diterjemahkan sebagai:
"Sebuah Buku yang Benar-Benar Berharga, Tidak Kurang Bermanfaat daripada Menghibur, tentang Kondisi Terbaik Republik dan Pulau Baru Utopia."

Judul ini mencerminkan tujuan More untuk memadukan elemen humor dan satir dengan diskusi serius tentang tata kelola negara dan masyarakat ideal.

Pokok Kritik dalam Utopia:

1.  Kritik terhadap Ketimpangan Sosial

Thomas More menggunakan masyarakat Utopia untuk mengkritik ketimpangan ekonomi di Inggris pada abad ke-16, terutama sistem feodalisme. Di Utopia, tidak ada konsep kepemilikan pribadi, sehingga semua kebutuhan masyarakat dipenuhi oleh negara. Barang diproduksi untuk kepentingan bersama dan didistribusikan secara merata.

Pada masa More, banyak rakyat Inggris yang menjadi korban enclosure (pengambilalihan tanah bersama oleh bangsawan untuk peternakan domba). Hal ini menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan migrasi ke kota-kota, yang pada akhirnya memicu meningkatnya kejahatan.

Dengan menekankan bahwa Utopia menolak kepemilikan pribadi, More menyindir para bangsawan dan borjuis yang mengakumulasi kekayaan tanpa memperhatikan penderitaan rakyat kecil. Ia menampilkan model masyarakat tanpa ketimpangan sebagai antitesis kondisi nyata Inggris.

2. Korupsi dalam Pemerintahan

Pemerintahan Utopia digambarkan sebagai sistem yang transparan dan didasarkan pada kebajikan moral, di mana para pemimpin dipilih karena kebijaksanaan mereka, bukan karena garis keturunan atau kekayaan.

Konteks Kritik: Di Inggris, sistem pemerintahan banyak dikuasai oleh elite bangsawan yang lebih peduli pada kekuasaan dan kekayaan daripada kepentingan umum. Para pejabat sering memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi.

Kritik More terhadap korupsi dalam pemerintahan masih relevan hingga saat ini, di mana banyak negara menghadapi masalah dengan birokrasi yang tidak efektif dan penuh dengan kepentingan pribadi.

Meskipun sistem di Utopia terlihat sempurna, ia sebenarnya menyindir bagaimana struktur yang utopis ini justru sulit diterapkan di dunia nyata tanpa moralitas yang tinggi di antara pemimpin.

3. Kritik terhadap Hukum dan Hukuman

Di Utopia, hukum dirancang sederhana agar mudah dipahami oleh semua warga. Hal ini bertentangan dengan Inggris pada masa itu, di mana hukum terlalu rumit dan sering kali tidak adil.

Hukuman Mati untuk Kejahatan Ringan:

More secara khusus mengkritik hukuman mati untuk pencurian, yang umum di Inggris. Ia mempertanyakan logika moral dari menghukum seseorang yang mencuri karena kelaparan dengan hukuman yang sama seperti pembunuhan.

Dalam sistem hukum Utopia, tujuan hukuman adalah rehabilitasi, bukan sekadar balas dendam. Kritik ini diarahkan pada sistem hukum Eropa yang sering mengabaikan aspek manusiawi dari pelaku kejahatan.

Pemikiran ini sejalan dengan ide reformasi hukum yang menekankan keadilan restoratif, di mana pelaku diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka, bukan dihukum secara kejam.

4. Agama dan Fanatisme

Salah satu aspek paling menarik dari Utopia adalah toleransi beragama. Penduduk Utopia bebas mempraktikkan agama apa pun selama tidak memaksakan keyakinan mereka kepada orang lain.

Pada masa More, Eropa tengah dilanda konflik keagamaan akibat Reformasi Protestan. Di Inggris sendiri, pergolakan antara Katolik dan Protestan menciptakan ketegangan sosial dan politik yang besar.

Meskipun More sendiri adalah seorang Katolik yang taat, ia mengakui pentingnya toleransi sebagai cara untuk menghindari konflik. Namun, ironi muncul karena Utopia tetap tidak toleran terhadap ateisme, mencerminkan keterbatasan pandangan pada zamannya.

Gagasan toleransi beragama di Utopia menjadi inspirasi bagi pemikiran modern tentang pluralisme dan sekularisme.

5. Perang dan Imperialisme

Di Utopia, perang dianggap sebagai sesuatu yang barbar dan hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan untuk mempertahankan diri atau membantu sekutu.

Di Utopia, perang adalah pilihan terakhir dan dilakukan dengan tujuan yang sangat terbatas, seperti melindungi negara atau membebaskan orang tertindas. Jika harus berperang, mereka lebih mengandalkan taktik cerdas, seperti menyewa tentara bayaran, daripada mengorbankan warga negara mereka sendiri.

Pada masa Thomas More, Eropa tengah dalam masa ekspansi kolonial dan perang berkepanjangan, seperti Perang Italia dan konflik antara Inggris dan Prancis. Perang ini sering kali dilakukan demi kepentingan kekuasaan atau ekonomi, tanpa memedulikan penderitaan rakyat.

More secara terselubung mengkritik imperialisme Eropa, di mana negara-negara kuat menjajah wilayah lain untuk kekayaan, dengan mengorbankan kemanusiaan dan etika. Dalam Utopia, perang dan ekspansi dianggap memalukan, sehingga bertentangan dengan praktik kolonial saat itu.

Dengan menggambarkan warga Utopia yang tidak memandang perang sebagai bentuk kebanggaan, More menyindir kebanggaan buta terhadap konflik bersenjata yang sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan elite politik.

6. Kesombongan Elit dan Ketidakadilan

Salah satu kritik paling tajam dalam Utopia adalah terhadap kaum elit yang hidup bermewah-mewahan di atas penderitaan rakyat. Di Utopia, semua warga memiliki standar hidup yang sama, tanpa ada yang menikmati kekayaan berlebih.

Pada masa More, kesenjangan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata sangat mencolok. Para bangsawan sering kali memperkaya diri melalui pajak yang tinggi, kerja paksa, dan eksploitasi tanah.

Dalam Utopia, kekayaan dikelola oleh negara untuk kepentingan semua orang. More menggunakan konsep ini untuk menyoroti ketidakadilan dalam distribusi kekayaan di dunia nyata, yang hanya menguntungkan segelintir orang.

More menyindir kebijakan ekonomi Eropa yang melanggengkan ketimpangan sosial dan memperkuat posisi kaum elit. Ia menunjukkan bahwa sistem seperti ini tidak hanya tidak adil tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Penutup

Setiap poin kritik dalam Utopia bukan hanya mencerminkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada masa Thomas More, tetapi juga menjadi relevan dalam konteks modern. Dengan memanfaatkan satire dan ironi, More mengajak pembaca untuk merenungkan apakah masyarakat ideal dapat tercapai, atau apakah itu hanya menjadi utopia belaka---sebuah visi sempurna yang mustahil diwujudkan di dunia nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun