Gimana kalau ternyata ada yang nggak simpatik dan menganggap kita baperan? Bisa jadi kita langsung menganggap mereka nggak pengertian. Ada yang cukup ekstrim sampai mencoret mereka dari daftar pertemanan.
Masalah selesai? Nggak juga. Yang kelar hanya pertemanan. Rugi, 'kan? Siapa tahu suatu saat kalian masih akan saling membutuhkan. Kalau enggak ya, masalah pilihan.
Sekarang mari dibalik. Bila masih tahan dan berempati melihat kegalauan orang lain, selamat. Kalau enggak juga nggak apa-apa. Asal siap-siap aja dituduh penganut standar ganda sama mereka yang udah tahu, Anda pun dulunya tukang galau. Heu...
Yah, mau gimana lagi? Manusia emang beda-beda.
Mengapa saya berani menulis ini? Karena saya sendiri sudah pernah di banyak posisi. Saya sudah pernah galau sampai bikin orang muak, benci banget sama penggalau lebay yang menurut saya cengeng banget dan caper (cari perhatian), hingga keganggu juga sama mereka yang hobi mencela tukang galau tanpa ampun -- karena menurut saya mereka 'sok kuat' dan mungkin diam-diam juga masih 'in denial'.
Yah, begitulah orang Indonesia terkadang. Doyan galau, sekaligus paling semangat ngatain sesama 'baperan'. Nggak konsisten, ya?
Sekarang, jadi pengamat sajalah. Saya juga lebih suka cari solusi. Berhubung nggak mungkin ngatur-ngatur semua orang agar jangan galau, mending mulai dari diri sendiri sebagai panutan. Kenapa enggak? Anggap saja pengingat buat semua orang:
Hidup ini nggak cuma tentang elo, kali.
R.