Pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat ini, dengan mematikan kebebasan orang lain, dalam konteks ini, berakar dari sebuah fanatisme golongan terhadap politisi tertentu dan keinginan pemerintah untuk mengontrol opini masyarakat. Ketika muncul sebuah tokoh fenomenal, masyarakat berpikir bahwa tokoh yang dianggap sebagai teladan ini harus dibela mati-matian meskipun harus melanggar hak berekspresi dari orang lain yang tidak sepaham dengannya. Sehingga, dengan adanya kritikan dan hujatan yang masuk kepada figur tertentu, diredam oleh para 'pasukan siber' yang dibentuk secara kolektif dan tidak melalui organisasi yang legal (hanya berdasarkan spontanitas), baik berupa hujatan-hujatan, doxxing, hingga memblokir akun media sosialnya supaya aspirasi yang disampaikan melalui si pengkritik tidak sampai kepada politisi yang dituju.Â
Hal ini menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin secara konstitusional oleh negara dan regulator media sosial, hanyalah lontaran omong kosong untuk menyenangkan rakyatnya saja tanpa ada tindak lanjut yang berarti. Kebebasan berpendapat hanyalah sebuah retorika untuk menggaet suara rakyat untuk memilih pasangan tertentu di tingkat daerah dan pusat setiap 5 tahun. Kebebasan berpendapat hanyalah sebuah kalimat promosi yang dilontarkan oleh para pemilik media sosial tertentu untuk menggaet pembelinya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI