Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Matinya Kebebasan Berpendapat

30 Mei 2025   22:42 Diperbarui: 30 Mei 2025   22:55 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan berpendapat pada hakikatnya adalah sebuah hak yang termasuk hak fundamental bagi seluruh manusia. Secara konstitusional, kebebasan berpendapat dan membuat organisasi dengan dasar ideologi tertentu, baik melalui LSM maupun organisasi mahasiswa, diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Manusia memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya untuk tujuan tertentu, seperti melakukan kritik dan pelurusan kepada pemerintah daerah maupun pusat apabila kebijakan yang dibuat dan diberlakukan tidak sesuai dengan kemauan rakyat. 

Beberapa owner dari media sosial seperti Elon Musk, yang menguasai saham Twitter (sekarang berubah menjadi X), juga aktif mengkampanyekan freedom of speech di media sosial yang ia punya. Pada tanggal 17 Februari 2024, melalui unggahannya di Twitter/X, menyatakan bahwa 'kebebasan berpendapat adalah dasar dari demokrasi', dengan mengutip Amandemen Pertama Konsititusi Amerika Serikat. Dengan demikian, free speech harus dijaga dan dikawal serta harus dimiliki oleh setiap individu tanpa diganggu gugat, apabila mengacu kepada dasar-dasar ideologi liberalisme. 

Akan tetapi, dalam implementasinya, konsep kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya secara hati nuraninya tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan pihak ketiga tidak diperbolehkan untuk mengintervensi bahkan membungkam suara kritis bagi yang memiliki tendensi kontra terdahap suatu pihak, justru dicederai oleh pihak-pihak tertentu, demi kepentingan pihak ketiga yang merasa tersinggung atas kritikan dan masukan yang tersampaikan oleh netizen maupun pihak lainnya yang setara. 

Misalnya, ketika ada seorang netizen Twitter membuat sebuah meme Prabowo dan Jokowi berciuman, untuk menyindir adanya 'matahari kembar' di dalam lingkungan pemerintah pusat, dengan spekulasi bahwa Prabowo masih berada dalam genggaman Jokowi. Pembuat meme itu, tanpa tedeng aling-aling, langsung ditangkap dan diancam hukuman hingga 12 tahun penjara. Namun, atas desakan Prabowo dan Habiburrokhman (anggota DPR-RI fraksi Gerindra), si pembuat meme itu dibebaskan secara bersyarat. Akibatnya, muncul dugaan dari para netizen bahwa polisi memiliki afiliasi dengan Jokowi atau dilaporkan oleh Jokowi. 

Atau, sebuah kasus yang menimpa para netizen yang getol menyuarakan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh zionis Israel, akun media sosialnya ditangguhkan oleh pihak media sosial tertentu, atau disensor dengan alasan-alasan yang tidak logis, seperti dituduh menyebarkan kebencian terhadap etnis tertentu. Dengan adanya pembungkaman-pembungkaman ini, pada akhirnya ada yang kemudian mulai mempertanyakan prinsip kebebasan berpendapat yang digaungkan oleh pemerintah maupun pengelola media sosial tersebut.

Hal itu tentunya mengingatkan penulis dengan buku How Democracies Die? karya Steven Levitsky, yaitu untuk mematikan sebuah demokrasi, ada beberapa elemen yang harus dikuasai, seperti badan-badan regulator yang berkaitan dengan media elektronik untuk mengontrol opini masyarakat dan melakukan kontra-opini kepada para oposisi yang tidak sejalan dengan konsepsi yang dicanangkan pemerintah. Dengan menguasai badan regulator maupun media-media massa, pemerintah mampu memenangkan perang opini sebagaimana dalam buku Politik Kuasa Media karya Noam Chomsky. Menurutnya, media massa mampu mengubah opini masyarakat, dari yang sebelumnya kontra menjadi pro, atau sebaliknya. Sehingga untuk menyebarkan pesan-pesan propaganda dari pemerintah, maka satu-satunya jalan bukan membredel media tersebut, baik media massa maupun sosial, namun dikuasai secara parsial maupun seluruhnya. Agar terlihat meyakinkan khalayak, pesan-pesan tersebut harus diberi bumbu-bumbu provokasi yang mampu mengubah pola pikir masyarakat. 

Ilustrasi media sosial. (Pexels)
Ilustrasi media sosial. (Pexels)

Penguasaan atas media-media komunikasi massa oleh kelompok tertentu, baik pemerintah maupun pengelola media sosial, mengisyaratkan bahwa kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin secara konstitusional, hanya sebatas omon-omon pemerintah maupun regulator media sosial. Pada kenyataannya, setelah suatu media sosial dikuasai oleh kelompok yang memihak pada politisi tertentu maupun pemerintah, masyarakat yang berseberangan dengan mereka pun dihujat dengan kata-kata yang tidak pantas dan mendelegitimasi seseorang yang kontra terhadap pihak-pihak yang dikritisi. Dalam beberapa kasus tertentu, pihak-pihak yang berseberangan itu ada yang diproses hukum dengan pasal karet, dengan dalih netizen tersebut membuat keonaran melalui berita yang dianggap bohong tersebut. 

Tidak hanya pemerintah maupun pengelola media sosial, beberapa individu yang mengagumi suatu politisi dapat mengubah opini suatu masyarakat sehingga mereka berhak untuk melanggar hak berpendapat orang lain. Sekelompok orang yang memiliki ideologi yang sama dan menyukai figur politisi yang sama, membentuk sebuah opini publik dengan kalimat-kalimat provokatif dan mengajak netizen untuk menyukai politisi tersebut, sehingga mengancam kebebasan berpendapat yang selama ini diperjuangkan. 

Misalnya, dalam media sosial X, rata-rata (walau tidak semua) netizen berpihak kepada sebuah figur akademisi bernama Anies Baswedan. Para netizen X yang dimaksud tidak segan-segan untuk melabeli seseorang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan 'ternak Mulyono', yang merujuk kepada para pendukung Jokowi, bahkan disertai dengan hujatan-hujatan yang tidak pantas.  Apabila seseorang mendukung politikus selain Anies Baswedan, baik itu Kang Dedi Mulyadi (KDM) maupun yang sejenisnya, di platform X, siap-siap dihujani serbuan hujatan dan makian dari si paling open minded. Hal senada juga berlaku di media sosial TikTok, yang didominasi pendukung Prabowo-Gibran, juga membuat labelisasi kepada lawan-lawan mereka dengan sebutan 'anak abah' meskipun bukan pendukung Anies Baswedan. Kini, dengan munculnya seorang figur politikus populis, budayawan, dan akademis bernama Kang Dedi Mulyadi (KDM), para kritikus KDM seperti Rocky Gerung, Ono Surono, dan pihak KPAI serta Komnas HAM dihujani dengan berbagai macam hujatan dan makian, sehingga kebebasan berpendapat hanya menjadi omon-omon belaka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun