Oleh: Nabil Saputra
Gelombang demonstrasi dalam beberapa pekan terakhir kembali menyedot perhatian publik. Ribuan massa turun ke jalan menyuarakan keresahan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Di tengah situasi panas itu, Presiden Prabowo Subianto justru mengundang tokoh lintas agama ke Istana Kepresidenan pada Senin, 1 September 2025. Pertemuan ini memunculkan pertanyaan: apakah dialog keagamaan mampu meredakan gejolak atau justru menjadi strategi legitimasi kekuasaan semata?
Dialog yang digelar Presiden dihadiri sejumlah tokoh penting, seperti Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, Ketua PP Muhammadiyah Muhadjir Effendy, Ketua Umum MUI Pusat Anwar Iskandar, hingga perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia. Dalam forum tersebut, para tokoh agama diminta membantu pemerintah menciptakan ketenangan sosial dengan mengajak masyarakat lebih dekat kepada Tuhan. Namun, alih-alih merespons tuntutan demonstran, pemerintah justru menggunakan imbauan keagamaan sebagai penenang situasi. Padahal, jika tuntutan aksi dipenuhi, keresahan publik bisa mereda secara lebih substantif.
Fenomena ini dapat dibaca melalui kritik filsafat agama. Friedrich Nietzsche, misalnya, pernah melontarkan ungkapan keras, "Tuhan sudah mati." Ungkapan itu bukan sekadar provokasi ateistik, melainkan kritik terhadap praktik menjadikan agama sebagai alat legitimasi politik. Nietzsche menegaskan bahwa ketika Tuhan dijadikan tameng untuk mempertahankan kekuasaan, agama kehilangan makna spiritualnya dan berubah menjadi instrumen penindasan. Dalam konteks ini, penggunaan dalil agama oleh pemerintah perlu ditinjau: ayat apa yang dipakai, tafsir apa yang digunakan, dan mengapa tafsir itu cenderung membenarkan kekuasaan, bukan membela rakyat.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa pemuka agama tidak hanya berfungsi sebagai penenang, tetapi juga sebagai suara moral rakyat. Pada masa kolonial, banyak ulama, pendeta, dan tokoh agama yang turun langsung ke masyarakat untuk menentang penindasan. Bandingkan dengan situasi kini, ketika pemuka agama lebih sering dihadirkan sebagai legitimasi kebijakan pemerintah. Dari isu kenaikan tunjangan DPR, penindasan aparat terhadap demonstran, hingga korban jiwa dalam aksi, aspirasi rakyat justru teredam. Pertanyaannya, apakah peran pemuka agama akan tetap pasif sebagai alat negara atau kembali aktif membela suara umat?
Melihat situasi ini, jelas bahwa peran pemuka agama semestinya tidak berhenti pada imbauan moral yang menenangkan. Lebih dari itu, mereka memiliki tanggung jawab etis untuk berpihak pada kebenaran dan menolak kezaliman. Sebagaimana Nietzsche mengingatkan, jangan sampai masyarakat ditindas dengan dalih "ini diridai Tuhan." Oleh karena itu, pemuka agama seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat, bukan sekadar corong legitimasi bagi penguasa.
Agama seharusnya menjadi cahaya yang membebaskan, bukan rantai yang membelenggu. Jika pemuka agama hanya berdiri di sisi penguasa, maka rakyat kehilangan tumpuan moralnya. Sebaliknya, bila mereka berani berdiri bersama rakyat, maka agama akan kembali pada fungsi sucinya: melawan kezaliman dan menegakkan keadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI