Mohon tunggu...
Faiz Badridduja
Faiz Badridduja Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

menyukai sejarah, sastra dan studi-studi keislaman

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Informasi Dasar UU Omnibus Law (Sebuah Pengantar)

30 Oktober 2020   17:25 Diperbarui: 4 November 2020   13:58 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-jalan-pria-orang-orang-5108415/

Dari segi bahasa, Omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang memiliki arti "untuk semua", jadi secara bahasa aja omnibus law itu hukum untuk semua. Sedangkan secara istilah, Omnibus ialah "relating to or dealing with numerous objects or items at ones ; including many things or having various purpuses" (law dictionary) yang maksudnya ialah undang-undang atau hukum yang berkaitan dengan banyak objek dan memiliki tujuan yang beragam.

Sebenarnya Omnibus Law bukanlah hal yang baru dan sudah dikenal sejak pertama kali dipublikasikan Amerika Serikat di tahun 1840 yang implementasinya itu cenderung sesuai dengan tradisi di negara-negara common law, yaitu negara yang punya badan hukum bertugas membuat hukum baik itu undang-undang atau konstitusi berasal atau mengambil kepada keputusan-keputusan pengadilan.

Meski pertama dikenal 1840, tapi penerapan pertamanya di Amerika Serikat itu baru tahun 1980-an dan mulai menyebar ke berbagai negara lain yang ingin mengadopsi hukum itu pada 1967, contoh negara yang sekarang telah menganut Omnibus Law diantaranya Jerman, Australia, Turki dan lain-lain, bahkan negara tetangga kita Malaysia dan Singapura pun sudah menerapkannya.

Skema regulasi yang dimiliki Omnibus Law  itu sebenernya bersifat menyeluruh dan komprehensif, jadi undang-undang ini tidak akan terpacu oleh rezim tertentu yang sedang berkuasa, pada umumnya ia akan dibuat untuk menyasar satu isu besar dimana nantinya akan ada di dalamnya itu terdapat pasal yang dicabut atau diubah sekaligus yang nantinya akan jadi lebih sederhana. Jadi omnibus law dapat disimpulkan sebagai penyederhanaan undang-undang.

Sekarang secara kontekstual, karena kita di Indonesia maka yang dibahas tentang UU Omnibus law di negara ini, sebenarnya tujuannya undang-undang ini lumayan simple yaitu untuk menaikkan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, pada dasarnya memang baik dan kelihatan baik, tapi pertanyaannya sangat fundamental sesungguhnya yaitu apakah  ia merupakan salah satu cara yang efektif untuk kondisi saat ini?, ingat kita sedang di tengah-tengah pendemi lho, ini.

Ada tiga hal besar yang jadi topik utama Omnibus Law, yaitu UU perpajakan, UU cipta kerja, dan UU pemberdayaan UMKM (usaha mikro kecil menengah), meski begitu artikel ini akan fokus pada yang ramai di jagad media yaitu UU cipta kerja.

Menurut pasal satu ayat satu, Cipta kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Perlu diketahui Omnibus Law terdiri dari 79 UU, 15 BAB dan 179 Pasal, dimana di dalamnya terdapat beberapa diantaranya 88 pasal dalam investasi dan perizinan, 19 pasal dari pengadaan lahan, 16 pasal investasi pemerintah dan proyek strategiS nasional, 15 pasal dalam UMKM (usaha mikro kecil menengah) dan koperasi, 11 pasal dalam kemudahan berusaha, 5 pasal dalam ketenagakerjaan, 4 pasal dalam kawasan ekonomi, 3 pasal dalam pengenaan sangsi, 1 pasal dalam riset dan inovasi. Sedangkan yang paling menarik, menimbulkan banyak kontroversi dan banyak dibahas orang ialah pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan.

Sebelum ke pasal-pasal yang bermasalah, perlu diketahui juga tentang Regulasi pembentukan UU dan Tahapan-tahapan suatu RUU sampai jadi UU dan apa dasar hukumnya. Untuk membuat suatu RUU jadi UU itu diatur dalam UU no 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, disitu disebutkan harus bersifat terbuka dan transparansi, tahapannya : perencanaan, penyusunan, pembahasan, sampai penetapan dan diundangkan alias akhirnya jadi UU.

Nah kalau kita bandingkan proses UU omnibus law ini ke UU no 15 tahun 2019, itu akan kelihatan menyimpangnya, kenapa?, karena dibuatnya itu engga transparan dan melanggar sifat terbuka, kemudian hanya melibatkan kelompok tertentu, padahal seharusnya pembentukan RUU itu harus memiliki prinsip keterbukaan dan partisipasi. jadi bisa disimpulkan ini tuh prosesnya menyimpang atau cacat regulasi.

Pasal-pasal yang bermasalah :

Pasal 59 dalam ketenagakerjaan, tentang perjanjian kerja atau kontrak kerja itu dihapuskan, di pasal 56 nya itu dirubah, yaitu pekerja PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) itu bisa dipekerjakan untuk segala jenis pekerjaan di berbagai bidang dan tanpa batasan waktu status kontrak, jadi dengan pasal ini perusahaan atau seorang pengusaha punya ruang yang dapat menggunakan jasa dan tenaga seorang pekerja tanpa batasan masa kerja kontak bahkan bisa seumur hidup.

Pasal 93, disitu juga dihapus dimana awalnya itu pengusaha memiliki kewajiban untuk tetap membayar upah kerja meski pekerja berhalangan haid di hari pertama, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan, melahirkan, atau karena keluarga meninggal dunia, melaksanakan kewajiban terhadap agamanya atau ibadah dan tugas pendidikan, jadi karena dihapus itu pengusaha atau perusahaan punya ruang untuk tidak membayar upah kerja jika pekerja yang bersangkutan berhalangan hadir untuk bekerja karena yang disebutkan di atas.

Pasal 89 ayat 22, tentang sistem waktu kerja, berisi perubahan dari pasal 79 UU no 13 tahun 2003, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja, waktu istirahat wajib diberikan  paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama  4 jam kerja, istirahat mingguan satu hari setelah  6 hari kerja dalam 1 minggu, sedangkan waktu kerja paling lama 8 jam perhari dan 40 jam dalam seminggu, perubahan terletak yang awalnya 3 jam, jd 4 jam, serta pekerja wajib 6 hari dalam seminggu, bukankah itu malah memberatkan?

Pasal 64 dan 65 tentang outsourcing, dihapus, awalnya itu mengatur mengenai pekerja tambahan yang berasal dari luar (oursourcing), itu merupakan pasal yang penting untuk kepastian kerja serta tunjangan yang didapat oleh mereka, mereka jadi gajelas dan posisinya ngambang di perusahaan terkait, tidak ada keamanan dan kepastian kerja.

Dan masih banyak pasal-pasal lain yang tidak disebutkan di sini namun masih bermasalah atau menimbulkan banyak kontroversi seperti tentang ketentuan pesangon dan bonus setoran kerja, karena penyusunan UU ini belum memenuhi beberapa prinsip ketenagakerjaan yaitu prinsip job security,  prinsip social security, dan prinsip income security, karena prinsip-prinsip didasarkan pada kemanusiaan, semua pekerja adalah manusia bukan robot dan lain-lain, dan lain-lain.

Sekial dan terima kasih, ini hanya opini, kalau ada salah dan lain sebagainya, disini tidak menutup kritik dan saran ko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun