Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Pandemi Covid-19 Memarjinalkan Anak Usia Sekolah

22 Maret 2021   10:29 Diperbarui: 22 Maret 2021   14:11 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebanyak 17% dari anak usia sekolah menjadi korban pandemi. Photo: Reuters

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pandemi Covid-19 berdampak besar pada hampir seluruh sendi kehidupan manusia termasuk di dalamnya bidang pendidikan.

Dalam dunia pendidikan tidak saja terjadi perubahan yang sangat drastis dalam proses belajar mengajar namun juga di beberapa belahan dunia COVID-19 telah memarjinalkan anak usia sekolah.

Data yang baru saja dikeluarkan oleh UNESCO, World Bank dan UN Population kemaren menunjukkan bahwa pada tahun 2021 saja sebanyak 70 juta anak terpengaruh langsung keberlangsungan pendidikannya akibat pandemi ini. 

Secara global sebanyak 17% dari dari anak usia sekolah menjadi korban pandemi ini. Bahkan berdasarkan analisis dari ONE Campaign (Organisasi Anti Kemiskinan) lebih dari 50% anak usia 10 tahun tidak dapat membaca dan mengartikan kalimat. 

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena hal ini baru saja dianalisis yaitu di akhir tahun 2020 lalu.

Termarjinalkan anak usia sekolah yang merupakan masa depan bangsa ini tentunya terkait erat dengan penutupan sekolah sekolah di seluruh bagian dunia dalam jangka yang sangat panjang akibat pemerintah melakukan pembatasan pergerakan warganya sebagai upaya mengendalikan Covid-19.

Sebagai contoh di Indonesia menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF, di tahun 2020 sebanyak 60 juta anak usia sekolah tidak dapat melakukan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.

Pada tahun 2020 lalu UNESCO menyatakan bahwa sebanyak 1,7 milyar anak di 188 negara pendidikannya terganggu akibat pandemi Covid-19 ini

Di neger-negara tertentu penutupan sekolah ini memang tidak menghentikan keberlangsungan pendidikan karena dapat dilakukan secara online, namun di negara-negara miskin, di mana fasiltas internet dan infrastruktur tidak memungkinkan dampaknya sangat berbeda karena menghentikan proses pendidikan secara total.

Di berbagai negara memang pendidikan masih dapat terus belangsung secara online. Photo: Victor Idrogo/World Bank
Di berbagai negara memang pendidikan masih dapat terus belangsung secara online. Photo: Victor Idrogo/World Bank
Tragisnya terhentinya keberlangsungan pendidikan ini terjadi di negara-negara miskin dan di wilayah terpencil sehingga menurut UNESCO berpengaruh langsung pada 500 juta siswa yang tinggal di wilayah tersebut.

Dikatakan berdampak sistemik karena dengan kondisi seperti ini dan pandemi Covid-19 tidak akan pernah dapat diprediksi kapan berakhirnya. Di tahun 2030 diperkirakan sebanyak 750 juta anak anak di dunia ketika mencapai usia 10 tahun tidak dapat menguasai literasi dasar.

Menurut ONE Campaign hal ini berarti di tahun 2030 mendatang satu dari setiap 10 anak di dunia tidak menguasai leterasi dasar.

Penguasaan literasi dasar oleh anak usia 10 tahun merupakan hal yang sangat krusial karena akan sangat menentukan keberhasilan mengikuti proses pendidikan selanjutnya dan masa depannya. 

Disamping itu ketidakmampuan penguasaan literasi dasar pada usia ini akan menyebabkan menurunnya kemampuan untuk belajar mandiri dan melakukan inovasi, juga akan mempengaruhi kemampuan anak untuk melanjutkan pendidikan, melakukan inovasi serta mendapatkan pekerjaan.

Kondisi yang memprihatinkan ini tentunya harus mendapatkan perhatian khusus bagi semua negara di dunia termasuk Indonesia karena jika dibiarkan maka akan lebih banyak lagi anak usia sekolah yang termajinalkan.

Diperkirakan untuk mempertahankan dan menyelamatkan agar 175 juta siswa dalam kurun waktu 4 tahun ke depan agar tetap sekolah diperlukan dana sebesar US$ 5 milyar.

Besarnya dana yang diperlukan untuk mempertahankan agar pendidikan tetap berlangsung di masa pandemi terutama di negara miskin ini menyadarkan dunia bahwa masalah ini adalah masalah global yang harus ditangani bersama.

Negara yang paling terdampak pandemi ini baik secara ekonomi maupun pendidikan adalah negara berkembang dan negara miskin.

Tidak pelak lagi pasca pandemi ini jurang kemiskinan semakin dalam dan sebaliknya negara maju walaupun terdampak pandemi dapat bertahan dengan baik bahkan ada yang semakin makmur.

Negara berkembang yang selama ini terbelit utang makin dalam masuk jurang kemiskinan di masa pendemi ini.  Oleh sebab itu pemberian bantuan stimulus ekonomi oleh negara maju dan juga penundaan masa pembayaran utang dianggap sebagai salah satu langkah dan solidaritas dunia yang harus dilakukan untuk memecahkan krisis pendidikan ini.

Pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi dan dijamin oleh negara.  Oleh sebab itu sangatlah tidak adil jika ada anak yang dilahirkan di negara berkembang dan juga negara miskin tidak dapat menikmati pendidikan dan termarjinalkan akibat adanya pandemi ini.

Jika kita berandai-andai bahwa dunia sebelum masa pendemi perduli dengan fasilitas pendidikan dan infrastruktur pendidikan di negara berkembang dan negara miskin maka tentunya ketika pandemi ini terjadi krisis pendidikan ini tidak berdampak separah yang sedang dihadapi dunia ini.

Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun