Mohon tunggu...
roy simanjuntak
roy simanjuntak Mohon Tunggu... Konsultan

Hidup penuh semangat pantang menyerah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menteri Keungan Baru, Harapan Baru: Stabilitas Ekonomi atau Krisis Kepercayaan?

11 September 2025   14:39 Diperbarui: 11 September 2025   14:39 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari dukung perubahan

Di awal bulan September 2025, panggung politik dan ekonomi Indonesia kembali berguncang. Presiden melakukan reshuffle kabinet yang memunculkan satu perubahan sensitif: Sri Mulyani Indrawati—figur yang selama ini menjadi simbol kredibilitas fiskal—digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan. Pergantian itu memicu dua respons berlawanan: optimisme di sebagian pengamat yang menaruh harapan pada langkah-langkah pro-pertumbuhan, dan kekhawatiran di kalangan investor serta publik yang khawatir akan melemahnya disiplin fiskal dan hilangnya sosok kredibel di kursi kunci. 

APBN 2025: Latar Fiskal yang Menunggu Penanganan

Sebelum pergantian menteri, kerangka APBN 2025 telah ditetapkan sebagai balok pijakan kebijakan fiskal. Dokumen Nota Keuangan dan informasi APBN 2025 menunjukkan orientasi pada penguatan kualitas belanja untuk mendukung pertumbuhan inklusif dan keberlanjutan, dengan target-target pendapatan dan belanja yang ketat. Namun realisasinya menghadapi tantangan: laporan independen dan penghitungan internal menunjukkan tekanan pada penerimaan negara dan pelebaran defisit yang membuat beban pembiayaan memendekkan ruang kebijakan

Lembaga fiskal dan analis memperkirakan defisit APBN 2025 bisa mencapai angka di kisaran Rp662 triliun (≈2,78% PDB) berdasarkan update keluaran pemerintah sebelum reshuffle—lebih lebar dari angka awal yang ditetapkan di UU APBN 2025. Pelebaran ini terutama disebabkan realisasi pendapatan yang lebih rendah dari target. Angka-angka itu menjadi “pekerjaan rumah” bagi Menkeu baru. 

Langkah Awal Purbaya: Suntikan Likuiditas Rp200 triliun

Tak menunggu lama, Purbaya pada sesi bersama DPR mengumumkan langkah konkret: memindahkan dana negara sebesar Rp200 triliun dari penempatan di Bank Indonesia ke perbankan komersial untuk menambah likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Ia menilai cadangan kas negara di BI menumpuk karena belanja pemerintah lambat, sehingga perlu “mengalirkan” dana agar perekonomian bergerak. Pengumuman ini adalah sinyal kebijakan aktif yang ingin segera menunjukkan dampak terhadap sektor riil.

Langkah ini dipandang dua sisi: sisi positifnya berpotensi memperbaiki ketersediaan kredit UMKM dan pelaku bisnis; sisi negatifnya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana langkah itu akan mempengaruhi koordinasi moneter-fiskal dan apakah langkah tersebut jangka panjang berdampak pada stabilitas makro. Reuters dan analis menyoroti bahwa keputusan seperti ini harus hati-hati agar tidak menimbulkan persepsi “longgar”nya disiplin fiskal. 

Reaksi Pasar & Janji Menjaga Batas Defisit

Pasar bereaksi cepat: indeks saham dan yield obligasi bergerak setelah pengumuman reshuffle, sementara kekhawatiran di awal pengumuman sempat menekan sentimen—meski beberapa laporan menyebut bahwa pernyataan Purbaya akan menjaga batas hukum defisit 3% diterima positif oleh sebagian investor. Pernyataan yang menegaskan “patuh pada aturan defisit” diperlukan untuk menenangkan pasar yang sensitif terhadap sinyal disiplin fiskal.

Dengan kondisi defisit yang lebih lebar dari target awal, tantangan Purbaya adalah merancang kebijakan yang tetap menjaga ruang fiskal (untuk belanja sosial dan infrastruktur) tanpa memicu lonjakan premi risiko negara yang pada akhirnya menambah biaya bunga utang. 

Survei & Indikator Kepercayaan Publik: Harapan vs Skeptisisme

Indeks keyakinan konsumen yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan kondisi optimis dalam beberapa bulan terakhir: IKK tercatat di atas 100—misalnya 118,1 pada Juli 2025 dan 117,2 pada Agustus 2025—menandakan bahwa secara umum konsumen masih relatif percaya terhadap kondisi ekonomi jangka pendek. Namun indeks semacam ini bersifat agregat nasional dan belum tentu mencerminkan reaksi cepat terhadap peristiwa politik tertentu seperti reshuffle. 

Di ranah opini publik dan media sosial, analisis sentimen menunjukkan dominasi reaksi negatif terkait reshuffle—terutama seputar figur Sri Mulyani sebagai simbol kredibilitas dan kecurigaan bahwa reshuffle didorong motif politik. Lembaga analisis media sosial mencatat munculnya narasi skeptis yang kuat: publik menilai pergantian kabinet belum tentu menjawab tuntutan rakyat soal harga kebutuhan pokok dan transparansi anggaran. 

Pengamat politik menekankan bahwa reshuffle bisa menjadi alat untuk “memulihkan” kepercayaan kalau dipandang sebagai respons nyata terhadap aspirasi publik; sebaliknya bila dipersepsikan sebagai “bagi-bagi kekuasaan”, maka efeknya justru memperdalam kepercayaan publik. Pendapat ini diungkapkan oleh beberapa pengamat saat memberi komentar atas keputusan presiden. 

Kutipan Ahli: Harapan yang Harus Dibuktikan

Beberapa pengamat ekonomi yang dikutip media menaruh harapan terukur pada Purbaya, antara lain karena latar belakangnya di lembaga keuangan (LPS) dan pengalaman teknis. Namun mereka juga memperingatkan bahwa kredibilitas cepat dibangun lewat kebijakan yang konsisten, transparan, dan berorientasi hasil—bukan lewat serangkaian gestur politik atau komunikasi saja. Bloomberg dan Reuters melaporkan beragam reaksi analis pasar yang sejalan: optimisme berhati-hati, sambil menunggu kebijakan konkret.

Seorang pengamat politik yang diwawancarai menyatakan, “Reshuffle ini harus dibuktikan lewat kebijakan yang langsung dirasakan rakyat — seperti penanganan ketahanan pangan, subsidi terarah, dan percepatan belanja anggaran yang tepat sasaran.” Pernyataan ini merangkum harapan publik: bukan nama, melainkan dampak nyata. 

Dampak Nyata yang Harus Diukur: Subsidi, Daya Beli, dan Pembiayaan UMKM

Ada empat ruang kebijakan yang menjadi indikator keberhasilan awal Menkeu baru:

  1. Subsidi dan Kebijakan Harga — apakah subsidi energi/pangan akan dipertahankan, ditajamkan, atau direalokasi sehingga tidak menimbulkan beban tak terkendali pada APBN namun tetap menjaga daya beli? (Data APBN 2025 menunjukkan ruang subsidi terbatas dan kebutuhan prioritas belanja sosial).

  2. Belanja yang Lebih Cepat & Terukur — percepatan realisasi anggaran (spending) agar tidak ada penumpukan cash di BI dan aliran ke sektor riil meningkat (sejalan dengan rencana pemindahan Rp200 triliun). Kecepatan ini harus diiringi tata kelola yang transparan.

  3. Stabilitas Makro — pengelolaan defisit dan utang agar tidak memicu pelemahan rupiah atau kenaikan yield obligasi yang mengerek biaya bunga pemerintah. Pernyataan Purbaya tentang komitmen pada batas defisit menjadi penting di sini.

  4. Dukungan untuk UMKM — kebijakan fiskal dan likuiditas perlu “menyentuh” pelaku usaha kecil melalui kredit produktif dan insentif agar pertumbuhan inklusif dapat dirasakan publik luas.

Keberhasilan di empat bidang ini akan menjadi tolok ukur apakah reshuffle menghasilkan “harapan baru” atau sekadar perombakan tanpa efek substantif.

Risiko Krisis Kepercayaan — dan Cara Meminimalkannya

Krisis kepercayaan muncul ketika publik dan pasar melihat ketidakkonsistenan antara kata dan tindakan. Risiko itu meliputi: capital outflow, tekanan pada rupiah, dan gelombang protes publik bila harga pangan tak terkendali. Untuk meminimalkan risiko, pemerintah perlu kombinasi langkah: komunikasi yang transparan, publikasi data real time soal realisasi belanja, jaminan hukum terkait batas defisit, serta kebijakan pro-rakyat yang terukur dan cepat terlihat manfaatnya. Analisis media menunjukkan masyarakat membutuhkan bukti nyata—bukan hanya penjelasan teknis. 

Kesimpulan: Menunggu Bukti, Bukan Hanya Harapan

Pergantian Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa membuka babak baru dalam pengelolaan fiskal Indonesia. Ada harapan — terutama pada langkah-langkah pro-pertumbuhan dan dorongan likuiditas untuk sektor riil. Namun ada pula ancaman: jika kebijakan tidak terukur atau terlihat sebagai kompromi politik, krisis kepercayaan bisa menggerus stabilitas ekonomi yang telah dibangun bertahun-tahun.

Bukti keberhasilan Purbaya akan terukur dari: (1) kemampuan menjaga defisit dalam kerangka hukum tanpa mengorbankan belanja untuk rakyat; (2) efektivitas pemindahan likuiditas untuk mendorong kredit produktif; (3) stabilitas pasar finansial; dan (4) persepsi publik yang membaik—diukur lewat indeks keyakinan konsumen dan sentiment publik di media sosial.

Hingga saat bukti-bukti itu muncul, publik dan pasar akan tetap menonton—mencatat setiap kebijakan, setiap angka, dan setiap hasil. Harapan baru harus dibuktikan dengan data dan dampak nyata; jika tidak, yang tersisa hanyalah wacana dan risiko kepercayaan yang semakin menipis. 

Sumber utama yang digunakan

  • Reuters: pelaporan pengangkatan Purbaya Yudhi Sadewa dan reaksi pasar. 

  • Reuters / Bloomberg: langkah awal Purbaya (rencana pemindahan Rp200 triliun) dan janji terkait defisit.

  • Nota Keuangan & Informasi APBN 2025 (Kementerian Keuangan).

  • Laporan/analisis tentang proyeksi defisit 2025 (laporan DDTC/analisis lokal).

  • Survei/Indeks Keyakinan Konsumen (Bank Indonesia; TradingEconomics ringkasan).

  • Analisis sentimen publik & opini pengamat (Drone Emprit, Antara, media lokal).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun