Oleh Royan Hanung Anindito
Di pesisir barat Sumatera, ombak tak sekadar memecah batu, tetapi juga membentuk watak manusia. Dalam tiupan angin dari Samudra Hindia, lahir satu sistem kepemimpinan yang jarang dibicarakan namun sarat makna: Kapalo Banda. Ia bukan hanya kepala kelompok nelayan, tetapi pemimpin moral dan pengatur kehidupan laut di kalangan masyarakat Minangkabau pesisir.
Warisan ini menunjukkan bahwa Minangkabau, yang kerap dikenang karena rumah gadang dan adat matrilinealnya, juga memiliki akar bahari yang dalam. Dari pantai Pariaman hingga Air Bangis, sistem sosial laut telah lama tumbuh seiring tradisi adat di daratan. Kapalo Banda adalah wajah lain dari kepemimpinan Minang, bukan penghulu di balai adat, melainkan nakhoda di atas samudra.
Laut dan Adat: Dua Ruang yang Tak Terpisah
Dalam falsafah Minangkabau, alam adalah guru utama: “alam takambang jadi guru.” Laut menjadi bagian dari tatanan moral itu. Kapalo Banda bertugas bukan hanya mengatur kerja menangkap ikan, tetapi menjaga keadilan, solidaritas, dan keseimbangan alam.
Ia menegakkan prinsip “elok nagari dek nan tuo, elok banda dek kapalo”, negeri elok karena pemimpin bijak, laut makmur karena nakhoda adil. Seperti penghulu di darat yang memimpin dengan musyawarah, Kapalo Banda menegakkan mufakat di lautan. Segala keputusan tentang waktu melaut, pembagian hasil, atau penentuan wilayah tangkapan diambil secara bersama.
Sistem ini memperlihatkan kearifan sosial yang kompleks. Di laut, tidak ada kekuasaan mutlak; ada kepercayaan yang dijaga. Setiap nelayan berhak bersuara, karena keselamatan kapal tergantung pada semua awak. Etika bahari itu sejatinya adalah demokrasi yang tumbuh dari ombak.
Pesisir Barat: Saksi Jalur Laut Minang
Sejak abad ke-16, pesisir barat Sumatera merupakan simpul penting dalam jaringan perdagangan Samudra Hindia. Dari pelabuhan Tiku, Pariaman, hingga Air Bangis, rempah dan emas dari pedalaman Minangkabau berlayar ke Aceh, Malaka, hingga India.