Dalam masyarakat Minangkabau, konsep raso jo pareso (rasa dan periksa) adalah keseimbangan antara intuisi dan nalar. Para pelaut membacanya lewat arah angin, warna air, dan gerak burung. Mereka berlayar bukan sekadar dengan peta, tetapi dengan kepekaan yang dilatih oleh pengalaman dan adat.
Kini, ketika teknologi menggantikan naluri, nilai ini terasa seperti pesan dari masa lalu. Raso jo pareso bisa menjadi dasar pendidikan maritim yang menggabungkan sains dan budaya, teknologi dan empati ekologis.
Kebangkitan maritim Indonesia tak akan lengkap tanpa kebangkitan nilai bahari. Dari pesisir barat Sumatera, kita belajar bahwa kekuatan laut bukan hanya pada kapal dan pelabuhan, tetapi pada jiwa manusia yang menghormatinya.
Penutup: Dari Pesisir ke Nusantara
Kapalo Banda adalah simbol pemimpin yang lahir dari laut. Ia tak berdiri di menara komando, tapi di antara ombak dan manusia. Kepemimpinan seperti inilah yang dibutuhkan Nusantara: adil, tangguh, dan berakar pada adat.
Warisan budaya maritim Minangkabau bukan kenangan romantis, melainkan cermin masa depan. Dari pantai Pariaman dan Air Bangis, nilai-nilai kepemimpinan itu terus berlayar, menjelma dalam generasi baru yang memimpin dengan keberanian dan kebijaksanaan samudra para Nakhoda Nusantara.
Referensi:
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press, 1983.
Kathirithamby-Wells, J. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1990.
Suryadi, S. “Tradisi Lisan dan Budaya Bahari Minangkabau.” Jurnal Humaniora Vol. 27, No. 3 (2015): 312–328.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Daghregister Batavia, Vol. 13 (1620–1640).
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!