Catatan Belanda abad ke-17, seperti Daghregister Batavia, menyebut Pariaman Haven sebagai salah satu pelabuhan utama di pantai barat. Di sana, Kapalo Banda menjadi penghubung antara dunia lokal dan global. Ia memastikan bahwa perdagangan tidak melanggar adat, dan setiap hasil laut dibagi adil antara nelayan dan pemilik perahu.
Di pelabuhan-pelabuhan itu, masyarakat Minang membangun jaringan dagang yang luas. Banyak pelaut dari pesisir barat menjadi nakhoda perahu dagang di Selat Malaka, sebagian bahkan berlayar hingga ke pesisir Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Inilah akar lahirnya sebutan “Nakhoda Nusantara” , pemimpin bahari yang lahir dari budaya adat, bukan dari akademi pelayaran.
Filosofi Kapalo Banda: Kepemimpinan dari Laut
Kepemimpinan Kapalo Banda tidak hanya teknis, tapi filosofis. Ada tiga nilai utama yang menjadi fondasinya.
Pertama, musyawarah. Di tengah laut, keputusan diambil bersama, karena badai bisa datang kapan saja.
Kedua, tanggung jawab kolektif. Kapalo Banda tak berkuasa absolut; ia menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara keuntungan dan keselamatan.
Ketiga, etika ekologis. Nelayan Minang mengenal waktu pantang melaut, bukan karena mitos, tapi bentuk konservasi alami agar populasi ikan tetap lestari.
Semua ini lahir jauh sebelum istilah sustainable fishing dikenal di dunia modern. Bagi masyarakat Minangkabau, menjaga laut adalah bagian dari menjaga diri sendiri.
Dari Tradisi ke Inspirasi Nasional
Kini, ketika Indonesia berbicara tentang Poros Maritim Dunia, filosofi Kapalo Banda justru terasa relevan kembali. Dalam dunia yang sibuk mengejar ekspor perikanan dan industri galangan, kepemimpinan moral seperti ini menjadi fondasi yang hilang.
Sistem Kapalo Banda mengajarkan bahwa pemimpin maritim sejati bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling adil dan berwawasan kolektif. Prinsip ini bisa menjadi inspirasi untuk membangun etika pemerintahan laut, pendidikan pelaut berbasis budaya, hingga diplomasi maritim yang berakar pada kearifan lokal.
Jika di darat Minangkabau melahirkan penghulu yang bijak, maka di laut mereka melahirkan pemimpin yang arif dalam badai.
Menumbuhkan Kembali “Raso Jo Pareso” Bahari