Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Teladan Iman: Tak Cukup Hanya Memahami Teologi, tetapi Perlu Menghidupinya dengan Sepenuh Hati

22 Januari 2020   15:53 Diperbarui: 22 Januari 2020   15:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, 22 Juni 2018 | dokpri

Semenjak kepergian Papa menuju keabadian, kerap kali saya menggali kenangan kebersamaan dengan Papa yang tersimpan rapi di balik lipatan-lipatan otak, kemudian menuliskan kenangan kebersamaan itu---termasuk tentang kenangan yang tanpa disengaja muncul ke permukaan---pada aplikasi catatan yang ada dalam gawai.

Catatan yang saya miliki dalam gawai masih berupa kalimat petikan sederhana atas beberapa peristiwa yang telah kami lalui bersama, dan saya berjanji pada diri saya sendiri (saat memiliki waktu luang) akan mengelaborasi semua kalimat petikan sederhana itu menjadi tulisan yang utuh, supaya nilai-nilai yang telah diwariskan oleh Papa tak terhenti oleh tradisi lisan yang lemah.

Kelahiran Papa ke dunia ini tentu bukan berakhir hanya untuk menjadi debu tanah, meskipun saat ini Papa telah benar-benar menjadi debu tanah, namun nilai-nilai yang telah diwariskan akan tetap hidup dalam jiwa generasi penerusnya. Dengan menuangkan kenangan kebersamaan dengan Papa ke dalam tulisan yang utuh, maka nilai-nilai yang telah diwariskan oleh Papa akan tetap menyala dan terjaga dari generasi ke generasi.

Facebook pun menjadi bukti nyata bahwa melalui tradisi menulis dapat menjaga nilai-nilai yang telah diwariskan oleh Papa, seperti catatan yang pernah saya tulis saat tujuh tahun yang lalu ini: bit.ly/2RhbOjt, dimunculkan kembali oleh Facebook ke permukaan melalui notifikasi. Saat membaca ulang tulisan ini, saya diingatkan tentang salah satu nilai yang diwariskan oleh Papa, sebuah nilai keteladanan iman dari Papa yang saya salin dan tempel tulisannya sebagai berikut:

Sepulang dari ibadah tadi (13/01), saya teringat momen-momen bersama Papa sewaktu masih remaja. Salah satu momennya: saat saya mulai tumbuh mengenal banyak hal, terutama dalam hal kerohanian. Kala itu, saya banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari hal-hal yang berbau rohani lewat bacaan-bacaan, entah buku rohani, renungan harian, dsb (jaringan internet pada saat itu belum mudah didapatkan seperti sekarang, mesti repot ke warnet dulu).

Teringat setiap kali saya ke toko buku rohani untuk membeli renungan harian remaja, saya juga membelikan renungan kaum dewasa untuk Papa. Anak baik kan? Dapat subsidi bulanan dari orang tua, keuntungannya kembali lagi untuk orang tua, hehehe. Alasan saya membelikan renungan untuk Papa, karena saya selalu melihat Papa tidak pernah menggunakan panduan apapun dalam membaca Alkitab.

Sebagai remaja yang baru lahir dalam kerohanian, saya merasa tergerak untuk membangun kerohanian Papa (maklum sok berapi-api, hehehe). Papa selalu menerima setiap renungan yang saya belikan, tidak pernah menolaknya. Namun, keadaannya masih sama seperti sebelumnya, Papa tidak pernah menggunakan renungan harian yang saya belikan untuk digunakan sebagai panduan dalam membaca Alkitab.

Saya pernah coba menanyakan kepada Papa tentang hal itu, jawab Papa seperti sedang menggali dalam pikiran saya: "Renungan ini kan tafsiran manusia juga, makan apa penulisnya, kalau tidak menulis?" Saya yang waktu itu merasa lebih pintar (padahal sedikit pun tidak lebih pintar) dari Papa, coba balas menjawab: "Penulis itu kan juga dipakai Tuhan untuk menjadi berkat, Pa?" Jawaban tidak cukup hanya berhenti di situ, masih lebih banyak lagi jawaban yang saya beri.

Singkat cerita, kebiasaan saya membelikan renungan untuk Papa terhenti. Karena Papa tidak pernah menggunakannya, akan terasa percuma jika saya terus membelikannya untuk Papa. Penasaran saya akan tindakan Papa itu berlangsung lama hingga saya tumbuh dewasa. Tentu Papa punya alasan yang kuat, kenapa tidak pernah menggunakan panduan dalam membaca Alkitab dan tidak pernah membaca buku rohani, sekalipun buku itu banyak terdapat di rumah.

Dalam hal membaca Alkitab, konsistensi Papa tidak pernah diragukan. Sejak kecil saya selalu melihat Papa saat pagi hari dan malam hari, selalu memegang Alkitab untuk direnungkan, kadang juga tertidur dengan Alkitab di tangannya. Entah, sudah ke berapa kalinya Papa membaca habis isi Alkitab dari Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu. Jika melihat rambutnya yang sudah memutih seperti sekarang, pasti sudah melebihi hitungan jari.

Papa tidak pernah banyak bicara kepada anak-anaknya, Papa lebih banyak memberikan teladan daripada harus banyak berkata-kata. Karena karakter Papa yang tidak banyak bicara itu, membuat rasa penasaran saya sulit untuk terjawab. Waktu terus berlalu, saya pun terus tumbuh dewasa, ketertarikan saya akan bacaan pun makin beragam tema (terlebih setelah adanya koneksi internet di rumah), bukan hanya dalam hal rohani saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun