Di tengah krisis moral dan maraknya praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, muncul urgensi untuk kembali menggali nilai-nilai luhur budaya Nusantara sebagai fondasi pembentukan karakter bangsa. Salah satu simbol kebijaksanaan dan kejujuran yang telah hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa dan Nusantara adalah tokoh Semar.
Semar bukan hanya tokoh pewayangan, tetapi merupakan personifikasi dari jati diri manusia otentik---yaitu manusia yang hidup selaras dengan kebenaran batin, kesederhanaan, dan keberpihakan pada keadilan. Dalam tradisi Jawa, Semar adalah simbol keutamaan (arete), pengayom rakyat, dan suara hati nurani yang membimbing para pemimpin dalam menjalankan amanah.
Dengan menggali nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam figur Semar, kita dapat menemukan panduan moral yang relevan dalam menjawab tantangan zaman, khususnya dalam upaya pencegahan korupsi. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian kepada rakyat yang melekat pada Semar, seharusnya menjadi cermin bagi para pemimpin dan pejabat publik dalam menjalankan peran dan kekuasaan mereka.
Dalam tulisan ini, akan dibahas bagaimana representasi Semar sebagai jati diri manusia otentik dapat dijadikan landasan etika dan spiritual dalam membangun budaya anti-korupsi yang berakar pada kearifan lokal.
Penjelasan tentang Semar:
Semar adalah personifikasi Tuhan dalam berbagai doktrin: Jawa, Hindu, Islam.
Nama Semar berasal dari kata "Dang" (gelar dewa atau leluhur).
Dianggap sebagai penjaga NKRI secara spiritual, dikaitkan dengan Gunung Telomoyo, Merapi, Merbabu.
Dihubungkan juga dengan berbagai tokoh spiritual Nusantara seperti Hyang, Dewa, bahkan Datu Dayak Kalimantan.
Makna Semar: