yang satu melihatnya sebagai "data kasus", yang lain sebagai "derita manusia". Inilah yang menjelaskan mengapa empati publik sering kali lebih cepat muncul dari bawah ketimbang dari atas. Makin tinggi jarak psikologis, makin abstrak pula tanggapan kebijakan---dan makin lemah rasa tanggung jawab moral.
Refleksi: Dari Empati ke Aksi Nyata
Fenomena ini tidak boleh berhenti sebagai tontonan viral. Ia harus menjadi seruan moral bagi dua pihak:
- Bagi masyarakat, agar terus menumbuhkan empati sosial tanpa menunggu krisis.
- Bagi pemerintah, agar menjadikan solidaritas warga sebagai alarm sosial --- tanda bahwa sistem formal sedang gagal memenuhi fungsi dasarnya.
Odong-odong mungkin bukan ambulans, tapi hari itu ia membawa lebih dari sekadar tubuh seorang pasien. Ia membawa pesan tentang kemanusiaan, tentang bagaimana warga biasa mampu menjadi luar biasa ketika negara diam.
Beberapa teori ini, bila dirangkai bersama, menampilkan potret utuh psikologi sosial masyarakat kita. Â Manusia pada dasarnya ingin diterima (Need-to-Belong), berusaha mencari makna dan penyebab peristiwa (Attribution), merespons emosi negatif secara spontan (Cognitive Neoassociation), dan memahami dunia sesuai jarak psikologisnya (Construal Level). Fenomena odong-odong bukan hanya soal ironi sosial, tapi juga panggilan untuk merekatkan kembali empati yang tercerai-berai.
Masyarakat tidak sekedar butuh sistem kesehatan yang efisien, tetapi juga sistem sosial yang manusiawi yang mampu mengurangi jarak, menumbuhkan rasa memiliki, dan mengarahkan kemarahan menjadi aksi kolektif yang bermakna. Sebab di balik setiap odong-odong yang membawa pasien, ada cermin tentang siapa kita sebenarnya sebagai manusia sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI