Oleh: Rossaline Friencesca Berliana Pradini
Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya
Beberapa hari terakhir, publik dibuat tertegun oleh sebuah video viral kemarahan Sangara (65) warga dari Desa Solokanjeruk, Kabupaten Bandung yang harus membawa anakya ke rumah sakit menggunakan mobil odong-odong---kendaraan berwarna cerah yang biasanya membawa tawa anak-anak. Kali ini, tawa itu berubah menjadi keprihatinan. Suara musik anak kecil berpadu dengan kepanikan warga yang berusaha menolong. Hal ini, terjadi karena tidak mendapat bantuan mobil desa. Alih-alih kekecewaan terhadap desa, pihak desa dan kecamatan membenarkan hal tersebut terjadi karena kesalahpahaman bahwa mobil yang dilihat Sangara adalah mobil pelayanan biasa bukan mobil ambulans. Karena mobil ambulans yang biasa sedang dipakai warga lain. Sangara diminta untuk menunggu sebentar, namun karena panik ia segera membawa anaknya menggunakan odong-odong.Â
Bukan hanya karena ironi bahwa kendaraan hiburan anak dipakai mengangkut orang sakit, tetapi juga karena peristiwa ini membuka luka lama tentang ketimpangan sosial, empati publik, dan lemahnya sistem kesehatan di akar rumput. Bagi sebagian orang, kejadian ini mungkin terasa ironis --- cerminan kreativitas rakyat yang kerap menjadi solusi atas lubang sistem. Namun lebih dari itu, peristiwa ini menunjukkan bagaimana masyarakat bereaksi secara psikologis dan sosial terhadap krisis yang menekan.
Dari kacamata psikologi sosial, peristiwa ini tidak sekedar soal kemiskinan fasilitas, melainkan juga tentang bagaimana manusia menafsirkan, merespons, dan mengekspresikan solidaritas sosial dalam kondisi krisis. Mari kita lihat dari beberapa teori penting.
Kebutuhan untuk Terhubung dan Diakui
Menurut Need-to-Belong Theory (Baumeister & Leary, 1995), manusia memiliki kebutuhan dasar untuk diterima dan menjadi bagian dari kelompok. Saat lembaga formal absen, warga menemukan makna sosial dengan saling membantu. Solidaritas ini bukan semata-mata belas kasihan. Ia adalah bentuk pemenuhan kebutuhan eksistensial --- bahwa manusia ingin merasa berguna dan diakui oleh lingkungannya. Dalam konteks ini, gotong royong menjadi cara masyarakat mempertahankan identitas sosialnya: "Kami masih peduli, meski negara mungkin absen."
Viralitas, Emosi, dan Jalur Persuasi Publik
Mengapa video ini viral dan menyentuh hati banyak orang? Jawabannya dapat ditemukan dalam Elaboration Likelihood Model (Petty & Cacioppo, 1980) --- teori yang menjelaskan dua jalur dalam memproses pesan:
- Peripheral Route: reaksi cepat berbasis emosi. Visual pasien di odong-odong langsung menggugah simpati.
- Central Route: refleksi rasional setelah emosi reda. Publik mulai bertanya, "Kenapa ambulans tidak datang?"
Kombinasi keduanya menjadikan isu ini tidak sekadar viral sesaat, tapi berkembang menjadi perdebatan publik yang membangun kesadaran struktural. Emosi menggerakkan perhatian, rasio menggerakkan perubahan.
Apakah Fenomena menimbulkan Emosi Negatif?
Menurut Berkowitz dalam Neoassociation Theory of Aggression Berkowitz, menguraikan bahwa emosi negatif seperti frustrasi dapat memicu agresi, terutama jika individu merasa tidak berdaya. Â Fenomena odong-odong ini memicu rasa frustrasi sosial yang luas: publik merasa marah bukan hanya pada kasus tunggal, tetapi pada simbol ketidakadilan yang lebih besar. Ketika penderitaan dianggap hasil kelalaian sistemik, maka rasa frustrasi berubah menjadi kemarahan kolektif---sebuah bentuk agresi sosial yang kini banyak tampak di media sosial.