Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Air Panas Kereta Bima

10 November 2022   22:44 Diperbarui: 10 November 2022   23:03 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana dalam gerbong Kereta Bima | sumber: dokumen pribadi

"Mas, ada air panas?".  Tanyaku pada salah satu prama yang tengah duduk sambil ngobrol santai bersama prami.

Saat itu pukul sepuluh lewat tiga puluh menit malam hari. Kereta Bima baru beberapa saat meninggalkan stasiun Purwokerto menuju Yogyakarta.

Aku tahu prami yang jadi teman ngobrol itu. Namanya Mitha. Karena dia yang melayani aku tiga jam sebelumnya, saat jam makan. Saat itu resto dalam kondisi ramai. Untuk duduk saja, harus nunggu beberapa lama.

"Ada, seharga teh" jawab prama bernama Agus. Dengan sigap dia berdiri dari tempat duduknya.

"Seharga teh?" ucapku dalam hati. Aku masih belum nyambung dengan acapan Agus itu. Namun sekejap ku langsung menyahut "berapa?"

"Sepuluh ribu", jawab Agus.

Aku segera sodorkan termos kecil ukuran 300 mililiter. Dan tak lama Agus serahkan termos itu ke salah satu prami lain yang tengah sibuk di belakang meja dapur. Tak lama, di seberang sana ku lihat  dia menuangkan dua gelas air panas ke dalam termos itu.

Di saat yang sama, aku meraih dompet di kantong celana. Ku cari duit receh. Ketemulah pecahan dua puluh ribu. Ku serahkan ke Agus dan dia kembalikan uang pecahan sepuluh ribu. Untuk kedua kalinya transaksi di resto ini, aku tidak diberi struk.

Setelah ditutup rapat, Agus menyerahkan termos ke aku sambil menyerahkan juga teh yang sudah dikemas dalam gelas kertas siap saji. Terbungkus rapih dalam plastik. Kemasan teh itu berisi satu ceh celup dan sekantong gula batu.

"Ini apa" tanya ku kembali ke Agus. Masih belum ngeh karena sambil menahan kantuk.

"Ini seharga teh", jawab Agus.

"Oke". Ku jawab sambil menerima bikisan kemasan teh itu seraya meninggalkan meja dapur resto lokomotif.

Berjalan sambil membawa teh kemasan, "kenapa aku harus bawa teh ini" tanyaku dalam hati "toh ga perlu. Kalo mau minum teh kan mending langsung di resto tadi".

Akhirnya aku berbalik arah ke meja dapur dan mengembalikan teh tersebut.

"Ini tehnya aku kembalikan, aku ga perlu" ucapku kepada Agus seraya meletakkan teh di atas meja. Ku dengar lirih Agus menjawab "iya". Dan sejurus kemudian aku berbalik arah menuju pintu.

Menjelang sampai pintu keluar, aku berpikir kenapa harga teh tadi sepuluh ribu. Padahal tiga jam sebelumnya aku makan dan minum teh, dengan harga berbeda.

Sebelumnya, Mitha, prami kawan Agus yang melayani saat itu bertanya. "Tadi pesen apa aja pak". Aku bilang "nasi goreng dan teh panas".

"Jadinya lima puluh tiga ribu pak" sahut Mitha. Dan kemudian dia melanjutkan jawabannya. "Nasi goreng tiga puluh delapan ribu dan teh lima belas ribu, semua jadinya lima puluh tiga ribu".

"Ok", jawab ku.

Ku berikan uang lembaran seratus ribu kepada Mitha. Dan segera dia keluarkan beberapa lembar uang receh dari kantong bajunya sebagai kembalian. Kemudian dia memasukkan lagi uang-uang tadi ke saku baju.

Aku sebagai pembeli tidak mendapat struk sebagai bukti bayar. Ku lihat beberapa pembeli lain pun bernasib sama. Baik beli di resto atau gerbong, sama-sama tidak diberi struk.

Ini adalah sepenggal kisah di atas kereta Bima. Perjalanan dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Yogyakarta. Aku memilih moda transportasi ini karena ingin lebih santai.

Aku menyukai perjalanan dengan kereta, terutama untuk jarak pendek. Perjalanan ke Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, bagi ku sangat menyenangkan dengan kereta.

Selain tepat waktu. Sejumlah perbaikan layanan sangat signifikan memanjakan penumpang.

Sambil berjalan kembali menuju Gerbong Dua, tempat aku duduk. Bertanya-tanya kenapa harga teh bisa berbeda. Saat makan, segelas teh dikenakan harga lima belas ribu. Saat beli air panas berbonus teh dipatok harga sepuluh ribu.

Memang di resto, aku tidak melihat daftar tarif harga. Dan sayangnya penumpang pun tidak banyak bertanya.

Selain itu, kenapa beli air panas harus dipaketkan dengan teh. Toh sebenarnya aku hanya butuh air panas. Karena itu, teh yang sudah dikemas dalam gelas itu aku kembalikan. Aku tidak butuh itu.

Lantas bagaimana dengan penumpang lain yang mungkin sama dengan ku. Di antara mereka mungkin ada yang perlu air panas untuk seduh susu bagi sang buah hati misalnya.

Sebuah layanan yang menurut aku agak dipaksakan. Penumpang dipaksa membeli paket teh panas, padahal perlu hanya air panas.

Apakah PT Kereta Api Indonesia memang tidak punya layanan air panas di atas lokomotif, atau ini semua hasil kreativitas prama dan prami saja.

Parsoalan yang muncul bukan harga, tapi soal kepastian. Perbedaan harga untuk produk sama, juga menjadi problem. Terlebih tidak disertakan struk pembelian. Semoga ke depan, layanan membaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun