Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sertifikat Perkawinan dan Belajar Menjadi Orangtua

21 November 2019   17:08 Diperbarui: 23 November 2019   11:47 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga bahagia | sumber: freepik.com

Kemenkes masuk melalui mewajibkan pengantin perempuan suntik Tetanus Toksoid (TT), setidaknya dua minggu sebelum pernikahan. Untuk diteruskan hingga lima kali dengan jadwal ketat.

Sementara Kemenag melalui program bimwin. Targetnya diberikan dua hari. Namun program ini tidak mampu menjangkau semua calon pengantin karena keterbatasan infrastruktur.

Jumlah fasilitator bimwin baru tercatat 1.928 dengan jangkauan di angka ratusan pasangan dalam setahun. Tidak lebih dari sepuluh persen.

Akibatnya, banyak pasangan tidak sempat mengecap bimwin. Mereka hanya dapatkan nasihat perkawinan sesaat jelang ijab qabul. Selain minim, tentunya pengantin tidak lagi fokus cerna materi yang disampaikan penghulu.

Membangun manusia, pada dasarnya memang dimulai dari komunitas terkecil, yakni keluarga. Dan suami istri menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan keluarga, serta perkembangan anak-anaknya. 

Tapi ketika dihadapkan pada sertifikat, yang dimulai dengan serangkaian pelatihan selama tiga bulan, ini tentu menjadi persoalan sendiri bagi calon pengantin. Bahkan dinilai membebani mereka. 

Persoalan pelaksanaan kebijakan kemudian menjadi tidak sederhana. Serangkut pertanyaan menghadang di depan mata.

Pertama, sasaran. Jika sertifikat perkawinan menjadi kewajiban dan syarat, artinya harus menjangkau seluruh elemen masyarakat. Mampukah pemerintah sediakan infrastruktur dalam waktu singkat. 

Angka dua juta pasang pengantin dalam setahun, bukan angka kecil. Bagaimana kebijakan ini bisa menjangkau masyarakat akar rumput, yang notabene jauh dari tangan pemerintah. Mereka yang hidup di desa-desa terpencil, atau mereka yang jauh dari akses pendidikan.

Kedua, bentuk pelatihan. Sertifikat perkawinan dihasilkan dari sebuah pelatihan intensif. Bentuknya seperti sekolah, atau pelatihan kerja, atau cukup seminar lomba pidato. Apakah didalamnya ada model simulasi.

Siapa yang bertanggungjawab selenggarakan pelatihan dan keluarkan sertifikat. Kemenko menunjuk Kemenag, Kemenkes, atau instansi lain yang dianggap kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun