Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zakat dan Negara, Bentuk Harmonisasi Kehidupan Umat Beragama Indonesia

17 Februari 2018   23:11 Diperbarui: 17 Februari 2018   23:16 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi zakat | sumber: Beritalangitan.com

Belakangan sebagian kelompok masyarakat dihebohkan berita bahwa Pemerintah akan menghimpun zakat bagi ASN muslim. Pro dan kontra bermunculan, sebagian kaget atau pura-pura kaget. Ada pula yang sengaja mencari sensasi mengail di air keruh. 

Lalu apa yang mereka perdebatkan. Tahun politik ataukah memang sedang jamannya mencari kambing hitam. 

Sebelum jauh berdebat, mari kita kembali ke belakang di awal era Reformasi. Tepatnya tahun 1999. Saat itu telah ditetapkan UU 38 tentang Pengelolaan Zakat. Melalui UU, negara ingin menyempurnakan sistem pengelolaan zakat agar lebih berhasil guna dan berdaya guna. Dari UU ini juga kemudian dibentuk Badan Amil Zakat Nasional atau BAZNAS, yang melembaga hingga kecamatan.

Tahun 2011, UU tersebut kemudian direvisi masih dengan nama yang sama, namun konteks dipertajam. Signifikansi revisi UU ini dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan daya guna dan hasil guna. Sekaligus menegaskan kembali bahwa zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam.

Negara tentu menyadari betul bahwa menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu adalah amanat UUD 1945. Di sisi lain, menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam.

Itulah hebatnya negara Indonesia. Negara ini, meskipun mayoritas beragama Islam, tapi bukan negara agama dimana semua aturan beribadah menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya. Indonesia juga bukan negara sekuler, yang mana negara melepaskan semua urusan yang bersinggungan dengan agama dan menjadikannya urusan setiap pribadi warga. 

Disini jelas ada peran hubungan negara dan agama. Negara menjamin setiap warganya menjalankan agama dan kepercayaan yang kemudian semua itu dituangkan dalam berbagai peraturan. 

Seperti halnya haji, Pemerintah memfasilitasi warga negaranya yang telah memenuhi syarat untuk menjalankan ibadah haji. Haji adalah kewajiban dalam beragama, bukan kewajiban dari Pemerintah. Pemerintah berkewajiban menjamin warganya menjalankan ibadah haji.

Begitu pula halnya dengan puasa. Tidak ada kewajiban puasa yang dikeluarkan Pemerintah bagi warga negaranya. Itu adalah kewajiban dari agama. Tugas Pemerintah adalah memfasilitasi, menyampaikan kapan mulai puasa dan kapan berhenti agar tercipta harmoni antar umat beragama.

Sama dalam hal shalat bagi umat Islam dan Ibadah-ibadah bagi umat agama lainnya. Pemerintah tidak pernah masuk dalam urusan shalat, tapi Pemerintah memberikan perlindungan warganya dalam mendirikan rumah ibadah, memelihara dan melindunginya.

----------

Baznas menyebutkan, potensi zakat di Indonesia selama satu tahun mencapai Rp 217 Triliun. Sementara tahun 2017, zakat yang berhasil mereka kumpulkan dan kelola hanya sebesar Rp 6 Triliun. Masih sangat jauh dari potensi sebenarnya yang dapat dilakukan.

Kenyataannya, sangat sulit ditemukan laporan komprehensif terkait dengan pengelolaan zakat secara keseluruhan. Sebagian kecil hanya dari laporan Baznas dan beberapa Lembaga Amil Zakat yang dikelola masyarakat, baik yang berskala nasional, provinsi maupun kabupaten. Tidak mudah mendapatkan laporan pengumpulan dan penyaluran zakat yang mereka lakukan.

Ditambah, bagi sebagian masyarakat Islam Indonesia, dalam menunaikan zakat lebih nyaman dilakukan secara perorangan atau kelompok tanpa melalui BAZ dan LAZ. Kondisi ini secara kuantitas, pengelolaan zakat tidak lagi bisa di ketahui.

Melihat kondisi tersebut, setidaknya ada tiga yang menjadi fokus perhatian Pemerintah bila diterjemahkan dari UU. Pertama negara mendorong zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam. Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan lembaga zakat yang memberikan kepercayaan umat Islam menyalurkan zakatnya. Sistem pengawasan dan audit serta peran masyarakat menjadi sesuatu keniscayaan dalam pengelolaan zakat.

Kedua, mendorong kesadaran umat Islam untuk menunaikan zakat, tentunya bagi yang memenuhi syarat sebagai muzakki. Perhitungan potensi zakat yang dirilis Baznas tentunya berasumsi jika semua muzakki tunaikan kewajibannya. Peningkatan pemahaman beragama juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah.

Ketiga, meningkatkan daya guna dan hasil guna yang berujung pada keadilan kesejahteraan masyarakat. Urusan penyaluran zakat sebenarnya telah diatur sangat jelas dalam syariat Islam. Mereka tidak lain adalah saudara kita sendiri yang masuk dalam kategori mustahiq.

Tantangan pada poin ini tidak kalah berat. Rilis jumlah penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik Semester kedua tahun 2017 sebanyak 16,3 juta jiwa. Mereka tersebar di seluruh pelosok negeri, dari Sabang hingga Merauke. Luasnya jangkauan, banyaknya target dan panjangnya jalur distribusi menjadikan tantangan tidak lagi sederhana. Banyak faktor bisa terjadi di lapangan.

Melalui sejumlah peraturan, Pemerintah hendak memperbaiki sistem semua itu. Manfaat yang begitu besar pada zakat, sudah semestinya bisa dirasakan seluruh mustahiq dan berujung pada meningkatnya kesejahteraan umat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun