Mohon tunggu...
Inovasi

Lunturnya Prinsip Jurnalistik Pada Era Jurnalisme Online

18 Juli 2018   10:41 Diperbarui: 18 Juli 2018   10:42 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jurnalisme  Online 

Pavlik (2001) menyebut jurnalisme ini berdimensi contextualized journalism. Ini karena kemampuan menggabungkan multimedia digital, interaksi online, dan tata rupa fiturnya. Pengintegrasian tiga fitur komunikasi yang unik : kemampuan-kemampuan multimedia berdasarkan platform digital, kualitas interaktif komunikasi online, dan fitur-fitur yang ditatanya (customizable features).

Awalnya, ialah komputerisasi. Pemberitaan dapat dikirim, disebar, dan diterima dalam kepingan data-data. Kecepatan ruang dan waktu elektronika jadi pengantar pesan bergambar dan bersuara (multimedia). Lalu, teknologi digitalisasi membuat informasi dapat diakses siapa pun dan dimana pun secara privat. Tiap berita di-frame ke format yang diinginkan penerima.

Komputer dan internet menghadirkan  cara baru jurnalisme dalam memproses, memproduksi, dan menyebarkan berita. Lutfi (2002) menyatakan hal itu, kedua media itu membuat ladang baru bagi industri media. Teknologinya membuat jaringan yang paling kapabel dibanding dengan media massa lain. Khususnya, dalam hal perlengkapan dasarnya, komponen yang menyusunnya, arsitekturnya, dan pelbagai kemampuan pendukung lainnya.

Kapabilitas teknis internet dikembangkan , berita di-online-kan  dengan isi yang orisinil, spesifik, dalam keunikan dunia internet. Produksi dan konstruksi, kisah berita memakai fitur-fitur baru. Juga menawarkan khalayak untuk berpartisipasi, berbagi, dan bergabung dalam proses kisah berita. Sejarah media memang mengajarkan masa depan itu punya banyak kemungkinan.

Beberapa decade lalu, layanan berita hanya bacaan cetak, di waktu terjadwal : pagi, sore, mingguuan, bulanan. Jadi arsip tumpukan kertas. Ellen Hume (1995) mencatat pertumbuhan jurnalisme online. Berbagai kondisi saat itu, yang kini tak aneh lagi dicatat Hume. Seakan meramal kematian koran dan majalah cetak pada decade-dekade tahun 2000-an.


Sejak pertengahan 1990-an, berita bisa dibaca tiap saat, di-download di rumah. Tak hanya teks, gambar sampai audio-visual, pun tinggal meng-klik. Siaran berita televisi tampil di pojok layar monitor, seperti "CNN Headline News". Wartawan cetak menulis berita sambil menatap update peristiwa secara online. Berita koran dan majalah lalu di-online-kan. Umpan balik konsumen dibuka, tanpa jeda yang lama (seperti "surat pembaca"), lewat berbagai room layanan online.

Siaran berita televisi, dan jaringannya, membuka homepage. Siaran online CNN tentang pengadilan OJ Simpson, misalnya bisa diunduh dengan layanan CompuServe saat itu. Hasilnya, pada akhir 1990-an itu, hampir seluruh media berita memiliki web. Saat itu, ada tiga kelompok  situs berita terkait isinya, menurut Deuze (2001).

Jurnalis online membuat keputusan-keputusan mengenai format yang tepat untuk mengungkap kisah. Dan memberikan ruang public untuk menanggapi, berinteraksi, atau bahkan menyusun (customize) cerita-cerita tertentu. Dan mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan satu kisah dengan kisah lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber, dan lain-lain melalui hyperlinks.

Kode Etik Jurnalistik

            Untuk pertama kalinya, kode etik jurnalistik dirumuskan pada masa revolusi tahun 1947, yaitu pada Konferensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Malang. Namun pada pertemuan tersebut perumusan kode etik bisa dibilang belum sempurna. Kode etik jurnalistik yang dianggap masih kurang sempuran itu, diperbaharui dan disempurnakan lagi di Jakarta pada tahun 1950-an. Tidak cukup sampai di situ, perubahan demi perubahan terus dilakukan. Dua kali perubahan terakhir masing-masing dilakukan di Menado, Sulawesi Utara pada bulan November 1983 melalui Forum Kongres PWI dan di Batam, Riau pada tanggal 2 Desember 1994 melalui Forum Sidang Gabungan Pengurus Pusat PWI bersama Badan Pertimbangan dan Pengawasan (BPP) PWI. Kode etik jurnalistik PWI (KEJ-PWI) yang telah disempurnakan tersebut mulai dinyatakan berlaku secara resmi semenjak 1 Januari 1995.

            Setelah masa reformasi bergulir, kebebasan pers semakin terbuka, PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. barbagai kalangan, tidak hanya media pers cetak namun juga media elektronik, berbondong-bondong ikut mendirikan sekaligus mengikrarkan organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia, misalnya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan lain-lain.

Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 1999, bertempat di Bandung, dicetuskan 7 (tujuh) butir Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dilahirkan oleh 26 organisasi wartawan Indonesia dengan tujuan memajukan jurnalisme Indonesia di era kebebasan. Kode Etik Wartawan Indoensia tersebut sebagai berikut.

  • Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  • Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  • Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat
  • Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila
  • Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi
  • Wartawan Indonesia memiliki hak tolak dan menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan
  • Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab

Dalam pokok-pokok etika komunikasi pers, kebebasan pers yang bertanggungjawab merupakan pedoman dalam perilaku dan  perbuatan jurnalistik. Prinsip tersebut harus tetap teraplikasi dalam cara mencari, mengumpulkan, dan menyajikan informasi kepada publik . artinya seorang wartawan mempunyai kebebasan dalam pekerjaannya, terutama bebas memilih apa-apa saja yang dikemukakan kepada khalayak. Dalam melaksanakan kebebasan tersebut, sebetulnya tidak belaku bebas yang sebebas-bebasnya, hingga bertindak bebas tanpa nilai-nilai dan norma.

Pelanggaran Kode Etik dalam Jurnalisme Online

Pelanggaran kode etik ialah tidak sesuainya berita yang dipublikasikan  seorang jurnalis kepada khalayak dari kode etik jurnalistik yang ada. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kode etik jurnalistik terdiri dari 7 pasal. Jurnalisme online yang dipublikasikan pada media online ini bahkan bisa menjadi teman bagi masyarakat yang berada dalam keadaan apapun, selagi mereka masih terhubung dengan internet maka mereka akan mendapatkan informasi apapun yang mereka inginkan dengan cepat. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa 4 % responden mereka memilih untuk menggunakan portal berita online paling tidak sekali dalam satu hari untuk mencari berita, dan 19% yang menggunakan surat kabar untuk kebutuhan sehari-hari (Allan, 2006 : 3).

Dalam konteks kebijakan negara, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komenkominfo) menargetkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 mencapai angka 150 juta orang atau sekitar 61% dari total penduduk. Memang Indonesia sedang berlomba mengejar target yang ditetapkan oleh Millennium Development Goals yang mensyaratkan akses internet di negara berkembang mencapai angka 50% dari total penduduk. Hasil penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerjasama dengan Puskakom Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa selama tahun 2014, pengguna internet Indonesia tercatat sebanyak 88,1 juta tumbuh sebesar 16, 2 juta dari sebelumnya 71, 9 juta atau memiliki penetrasi 34, 9 %. Angka 88, 1 juta tersebut disesuaikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 252 juta (BPS 2014).

Internet membuka ruang publik untuk partisipasi warga, baik itu profesional atau amatir dalam diseminasi informasi. Informasi bukan lagi eksklusif milik jurnalis dan media. Inilah yang kemudian menjadi lebarnya pelanggaran kode etik jurnalistik itu sendiri. Tidak terbatasnya penulis dari kalangan mana pun menjadi awal dari pelanggaran itu.

Pelanggaran yang kerap terjadi dalam jurnalisme online diawali dengan merosotnya mutu jurnalisme online. Pertama, wartawan tak memahami subyek liputan (29%). Kedua, tekanan untuk mengejar tenggat deadline (23%). Ketiga, tidak melakukan riset yang memadai (16%). Keempat, subyek liputan yang kompleks (15%). Kelima, kemalasan para senior di ruang redaksi (12%). Keenam, wartawan tidak mengajukan pertanyaan yang cukup (12%). Terakhir, wartawan itu sendiri tidak mengajukan pertanyaan yang tepat dan kurangnya kemampuan menulis dan bahasa. (dilansir dari diskusi PWI, Gunawan, 2006)

Dari pengurangan mutu jurnalis kemudian menghasilkan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik yang telah berlaku. Seperti "Line Today", salah satu jurnalisme online yang berasal dari aplikasi android yang menampilkan berita-berita harian. Banyak sekali pelanggaran kode etik jurnalistik yang telah dilanggar oleh "Line Today". Pertama, narasumber tidak ditemui langsung oleh penulis seperti, kata Andre kepada Kompas.com. Kedua, judul berita yang terlalu berlebihan, akan tetapi tidak sesuai dengan apa yang disampaikan.

Dalam berita yang sama "line today" juga sering menampilkan hal yang sama dengan menggunakan judul yang berbeda. Padahal, inti dari berita yang disampaikan sama dengan berita yang diberi judul berbeda. 

Seperti contoh pemberitaan yang sangat viral yaitu pengeboman yang terjadi di salah satu gereja di Surabaya. Banyak berita yang diunggah oleh "line today" terkait peristiwa itu dengan beragam judul, akan tetapi setelah dilihat dan diamati inti dari berita itu sama dengan berita yang diberi judul berbeda. Harusnya media yang cukup tersohor oleh kalangan muda ini harusnya bisa menyesuaikan dengan aturan kode etik jurnalistik yang berlaku. 

Tidak hanya mengejar pembaca yang banyak,akan tetapi juga bisa menjadi media yang mendidik dengan menghasilkan berita dengan kualifikasinya yang sesuai dengan aturan jurnalistik.

Tidak hanya "line today", masih banyak jurnalisme online baik yang ternama ataupun tidak yang melakukan pelanggaran dalam mengembangkan jurnalisme online melalui web-web yang mereka kelola. 

Bahkan tidak sedikit pada web online, jurnalis tidak mencantumkan nama penulis, sehingga tidak adanya pertanggung jawaban atas tulisan yang sudah dibuat. Pelanggaran ini yang kemudian belum memperlihatkan adanya perubahan dari pihak yang berwenang. Pengikatan yang sulit dilakukan pada jurnalisme online ini membuat akan terus berkembangnya pelanggaran kode etik jurnalistik yang sudah ada.

Inilah yang kemudian melahirkan berita palsu, karena jurnalisme online yang di warnai oleh pelanggaran. Sedangkan publik yang tidak memahami jurnalistik secara baik dan hanya mementingkan kepuasan informasi yang dibutuhkan tentu tidak peduli dengan hal ini. Maka berawal dari seorang jurnalislah yang mengendarai jurnalisme online ini yang harusnya bisa mematuhi kode etik yang berlaku, agar berita yang tersebar pada media online bukan hanya berita bohong belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Santana K., Septiawan. 2017. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Pasrah, Heri Romli. (2008). Kode Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam. Jurnal Dakwah, 9, 118-119. http://ejournal.uin-suka.ac.id

.................. (2016). Posisi Media Cetak di Tengah Perkembangan Media Online di Indonesia, 5, 60-61.  ojs.atmajaya.ac.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun